Anggap Agama sebagai Musuh, Sekularisme Kian Kukuh
Oleh: Erwina (Member WCWH)
LensaMediaNews – Belum lama dilantik, pernyataan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) telah mengundang polemik. Pernyataan Yudian Wahyudi terkait “agama musuh Pancasila” sontak menuai kritik publik. Dikutip dari M.detik.com (12/2/2020) bahwa ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Alhasil dianggap berbahaya dan bila mau jujur, musuh terbesar Pancasila itu adalah agama bukan kesukuan.
Berbagai respon dan tanggapan bermunculan terkait polemik ini. Pihak rezim pun kelabakan membela dan meluruskan bahwa pernyataan yang ada, tidak seperti anggapan orang. Klarifikasi pun dikeluarkan. Menurut Yudian, hubungan Pancasila dengan agama harus dikelola dengan baik. Ia menilai, yang paling bertanggung jawab untuk menahan diri yaitu mayoritas. “Jadi, saya ingin menekankan bahwa Pancasila itu bukan thogut, Pancasila kalau bahasa kita itu Islami. Karena itu, semua ada di dalam Alquran dan juga hadits. Yang saya maksud adalah musuh-musuh agama dari dalam agama,” ujarnya (M.republika.co.id, 13/02/2020).
Pernyataan mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta ini menunjukkan bahwa Islam yang menjadi sasaran. Keberadaannya sebagai agama mayoritas di negeri ini seolah dianggap berbahaya. Apalagi ketika semangat keislaman kian nampak disertai dengan munculnya kesadaran akan Islam politik, justru telah membuat gerah.
Wajarlah jika upaya mengaburkan ideologi Islam ditempuh untuk membodohi umat. Pilihan jatuh pada sekularisme sebagai senjata ampuh. Pemisahan agama dari kehidupan terus digaungkan ke tengah-tengah umat untuk mereduksi ajaran Islam. Termasuk di dalamnya adalah upaya menjadikan para khatib bersertifikat.
Dengan khatib bersertifikat diharapkan ceramah agama yang disampaikan para khatib di setiap ibadah shalat Jumat, senantiasa memuat nilai-nilai Pancasila dan prinsip NKRI. Menurut wakil presiden, Ma’ruf Amin, Pancasila dan NKRI itu adalah kesepakatan. Karenanya tidak boleh membawa sistem lain selain NKRI karena membuat gaduh, misalnya khilafah (M.mediaindonesia.com, 14/02/2020).
Betapa ironis. Agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini dianggap sebagai hal yang berbahaya, bahkan sebagai musuh. Ajarannya yang murni direduksi, mendakwahkan dan mengajarkan seolah sesuatu yang membuat gaduh dan mengancam negeri. Bukankah Islam justru ajaran dari Ilahi Rabbi? Tiada mungkin menyebabkan pemeluknya terzalimi. Justru akan mengantarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan yang hakiki.
Namun, akibat diterapkannya sekularisme di negeri ini mengakibatkan banyak umat Islam yang antipati terhadap ajaran agamanya sendiri. Bahkan ikut menyuarakan pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari. Tanpa disadari, mereka pun menjauh dari agamanya.
Sejatinya telah tegas disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” (HR. Ar-Rawiyani, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi). Karenanya tidak ada yang layak disandingkan ataupun dibandingkan dengan Islam. Apapun itu, baik agama lain maupun buah pikiran atau karya manusia. Tidak apple to apple.
Sudah saatnya umat Islam di negeri ini menyadari bahwa Islam merupakan ajaran yang benar. Keberadaannya bukanlah sekedar agama, melainkan suatu ideologi yang memiliki berbagai solusi atas seluruh problematika negeri. KepadaNya-lah tempat untuk rujukan masalah bangsa. Mengompromikan dengan sekularisme justru kesalahan besar yang fatal akibatnya. Alih-alih sejahtera, justru bencana yang terjadi bahkan menyebabkan sekularisme kian kukuh. Dengan demikian saatnya meluruskan pemahaman di dalam diri, jadi muslim sejati dengan mengupayakan penerapan syariat Islam yang murni, jauh dari segala kompromi.
Wallahua’lam bishshowab.
[ah/LM]