Jadi Beban Negara, Nasib Honorer Berakhir Horor

Oleh: Eni Mu’tamaroh, S.Si

(Revowriter Jombang)

 

LensaMediaNews – Tenaga honorer di negeri ini menjadi beban pemerintah pusat, kata Menteri PAN-RB Tjahyo Kumolo. Pasalnya, tenaga honorer banyak di pemerintahan daerah (Pemda) dan tidak diimbangi dengan anggaran, sehingga banyak kepala daerah yang meminta anggaran gaji tenaga honorer dipenuhi oleh pusat. Sedangkan pusat tidak mengalokasikan anggaran untuk itu.

Polemik tenaga honorer sudah lama terjadi dan tak kunjung ada solusi. Awalnya pengadaan tenaga honorer untuk mengurangi pengangguran dan dibayar rendah. Kemudian dijanjikan akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) tanpa seleksi, hal itu dimulai sejak tahun 2005 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 48 tentang pengangkatan honorer. Pada tahun 2007, terbit PP Nomor: 43 menjelaskan tentang penentuan batas usia tenaga honorer untuk diangkat PNS. Munculah istilah pegawai honorer K1 dan K2. Pada tahun 2013 pemerintah menerbitkan PP Nomor 56 terkait seleksi dan pengangkatan honorer K1 dan K2. Kemudian lahirlah UU tentang ASN pada tahun 2014, maka tidak ada lagi pengangkatan PNS maupun PPPK secara otomatis, tapi harus mengikuti seleksi ujian. Setelah melewati mekanisme berliku, nasib honorer kini berakhir horor, karena statusnya akan dihapuskan.

Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menghapus perekrutan tenaga honorer di lingkungan pemerintahan mulai tahun ini. Tindakan ini dinilai sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, yakni UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Di dalamnya tertuang aturan bahwa tenaga kerja di instansi pemerintahan yaitu PNS dan PPPK (m.cnnindonesia.com, 24/01/2020).

Apakah artinya semua tenaga honorer akan diangkat menjadi PNS? Jika iya, tentu membawa kabar gembira bagi para tenaga honorer yang selama ini statusnya tak jelas. Namun jika tidak, maka nasibnya semakin horor. Bertahun-tahun bekerja dengan gaji rendah menyimpan asa untuk diangkat menjadi PNS, sirna. Janji-janji manis saat kampanye pemilu, semua calon mengatakan akan memperjuangkan nasib honorer, hanya bualan belaka demi meraup suara.

Saat ini tenaga honorer di lingkungan pemerintahan ada sekitar 438.590 orang, setelah sejak tahun 2005 hingga 2014 ada sekitar 1.072.090 honorer telah diangkat menjadi PNS melalui berbagai jalur. Jika tenaga honorer dihapuskan bagaimana nasib mereka? Termasuk diantaranya banyak guru dengan status honorer di daerah-daerah. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan. Sedangkan negara sangat sedikit mengangkat PNS, padahal di daerah-daerah masih banyak instansi atau sekolah-sekolah yang butuh tenaga kerja.

Memenuhi kebutuhan rakyat adalah tanggung jawab negara. Termasuk penyediaan tenaga kerja di instansi-instansi negara, sekaligus membayar gajinya. Persoalan ini tidak boleh diukur dengan pandangan untung dan rugi, sehingga berkesimpulan menambah beban anggaran negara. Pembedaan status tenaga kerja juga tak selayaknya ada. Jasa yang telah dicurahkan oleh seseorang harus dibayar dengan kompensasi atau gaji yang sepadan. Karena manfaat jasalah yang menjadi standar dalam pembayaran gaji bukan pada perbedaan status antara PNS atau honorer.

Dalam sistem negara kapitalis, hubungan antara pemerintah dan rakyat didasarkan pada asas untung rugi. Rakyat dianggap menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi. Rakyat dituntut agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, sedangkan lapangan kerja tidak memadai. Sistem kapitalis mau menang sendiri, memeras keringat rakyat tapi tak mau mengeluarkan dana lebih untuk mengurusi rakyat. Jelas saja, sistem seperti ini membuat rakyat kian sengsara.

Islam memiliki aturan yang jelas tentang kehidupan, termasuk masalah ketenagakerjaan. Pengangkatan pegawai negara, mutasi, dan pencopotan merupakan kewenangan tertinggi pada departemen, jawatan, atau unit kerja. Seluruh pegawai yang bekerja pada pemerintahan Islam diatur dalam hukum ijarah (kontrak kerja) yang jelas. Muslim maupun kafir boleh menjadi pegawai pemerintah dan mendapatkan perlakukan yang adil sesuai syariat Islam. Tidak ada penggolongan pegawai seperti PNS dan honorer. Semua statusnya sama sebagai pegawai negara mendapatkan hak yang sama.

Gaji pegawai diambil dari Baitul Mal yang memiliki banyak sumber pemasukan. Sehingga negara tak pernah merasa terbebani anggaran meski jumlah pegawainya banyak.

Sebagimana yang terjadi di masa Khalifah bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara ada yang mencapai 300 Dinar, jika dikruskan sekarang seharga 1.275 gram emas yakni Rp114.750.000. Anggaran ini menjadi prioritas belanja negara, sampai-sampai jika Baitul Mal kekurangan dana untuk membayar pegawai, negara menarik pajak pada orang-orang tertentu untuk menutupi anggaran dan ini tidak bersifat permanen.

Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tanggung jawab besar mengurusi rakyat merupakan amanah dari Ilahi, maka seorang pemimpin dalam Islam akan berupaya semaksimal mungkin mengurusi rakyatnya termasuk membuka lapangan kerja. Maka menjadi PNS bukan satu-satunya posisi yang jadi rebutan karena gaji yang terjamin. Negara masih memiliki banyak sektor seperti bidang industri, pertanian, kesehatan yang secara individu rakyat dapat mengembangkan potensi dirinya. Maka semua rakyat bisa berkarya dan di-support oleh negara, kehidupan pun jadi sejahtera.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

[ah/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis