Efek Domino Penghapusan Pegawai Honorer

Oleh: Umi Diwanti

 

LensaMediaNews— Heboh! Berpayungkan hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Komisi II DPR bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah bersepakat akan menghapus seluruh tenaga honorer di jajaran pemerintahan. Tidak boleh ada lagi pegawai di instansi pemerintah kecuali para PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

 

Bagaimana tidak heboh, kebijakan ini tentu saja akan meningkatkan angka pengangguran secara drastis. Di Kalsel saja, kebijakan ini akan membuat sekitar 10.033 pegawai honorer dan 3000 guru honorer kehilangan pekerjaan (m.kalsel.prokal.co, 22/1/2020). Belum lagi di daerah-daerah lain di seluruh negeri.

 

Menanggapi hal ini, Kepala Biro Organisasi Setdaprov Kalsel, Gt Burhanudin menyampaikan bahwa para honorer akan diangkat menjadi PPPK secara bertahap dengan jalan tes CAT. Dalam rangka menjaring honorer yang benar-benar berkualitas. Yang tidak lulus dianggap tidak cakap dan tidak bisa direkrut.

 

Padahal pekerja honorer ini sudah bisa dilihat kualitas kerjanya secara langsung saat mereka bekerja selam ini. Kalau memang tidak cakap kenapa masih dipakai tenaganya. Bahkan hingga puluhan tahun.

 

Anehnya lagi, bagi instansi yang masih memerlukan tenaga honorer asal gajinya tidak masuk dalam DPA (Dokumen Pelaksana Anggaran). Harus ditanggung sendiri oleh instansi yang bersangkutan dari sumber pembiayaan pribadi.

 

Ini artinya penertiban status honorer ini jelas bukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Namun lebih pada bagaimana agar negara semakin bisa berlepas dari tanggung jawab utamanya sebagai penyelenggara pelayanan publik. Langkah demi langkah ditempuh pemerintah menuju liberalisasi pelayanan publik.

 

Sungguh kebijakan yang sangat horor. Setidaknya beberapa hal mengerikan ini akan menjadi efek lanjutan dari kebijakan ini. Pertama, akan banyak peserta didik yang akan terlantar. Tidak mungkin mereka belajar sendiri atau beberapa kelas digabung menjadi satu karena kurangnya guru.

 

Kedua, jika pun sekolah atau instansi bisa membayar gaji honorer tentu saja dengan upah yang sangat rendah. Hal ini rentan menyebabkan para pekerja tidak tenang dalam menjalankan tugas pelayanan. Memikirkan kebutuhan yang semakin berat dan (mungkin) usaha sampingan demi mencukupi kebutuhan. Bahkan sangat berpeluang menyuburkan praktik riswah.

 

Ketiga, jika instansi ingin tetap memberikan upah yang layak demi menjaga kualitas pelayanan. Sementara tidak boleh dimasukan dalam anggaran pengeluaran instansi. Maka tak ada pilihan kecuali menarik iuran dari penerima jasa pelayanan.

 

Jika untuk sekolah ada larangan menarik SPP maka jalan keluarnya adalah dengan istilah sumbangan yang tentu saja tidak dikelola langsung oleh sekolah. Tetapi melalui perwakilan orangtua. Mau tak mau, karena resikonya adalah pendidikan anak. Demikian pula dalam bidang pelayanan lainnya. Ujung-ujungnya pasti akan menambah beban rakyat.

 

Keempat, pilihan lain adalah instansi membuka kerjasama dengan pihak swasta. Tentu saja resikonya sama. Swasta tak mungkin begitu saja menawarkan jasa jika tak ada laba yang bakal mereka terima. Pelayanan publik justru akan menjadi ajang bisnis yang membuat rakyat makin meringis.

 

Lebih bahaya lagi jika dengan dalih kemandirian instansi di tiap daerah lalu menyerahkan aset daerah baik berupa SDA maupun pembangunan fasilitas umum pada pihak swasta. Jelas ini akan membuat negeri ini masuk dalam perangkap hegemoni kaum kapitalis. Inilah yang sesungguhnya mereka inginkan. Negara berlepas tangan lalu mereka mendapat jalan untuk menguasai negeri ini di seluruh lini.

 

Jauh berbeda jika aturan ketenagakerjaan ini dikelola berdasar syariat Islam. Negara akan memberikan gaji yang layak pada semua pegawainya sesuai kinerja yang mampu mereka berikan.

 

Tak hanya gaji, bahkan rumah dan pembantu rumah tangga pun disediakan. Dengan tercukupinya segala kebutuhan pegawai mereka akan bisa memberikan pelayanan secara totalitas dan terhindar dari praktik sogok atau suap.

 

Berkat sistem yang baik, dalam kehidupan Islam negara mampu mewujudkan pelayanan terbaik pada semua rakyatnya. Cepat, profesional dan tidak berbayar. Sebab negara memang memfungsikan dirinya sebagai pelayan umat.

 

Negara pun tidak akan terkendala masalah pendanaan. Sebab Islam telah menetapkan banyak pos pemasukan bagi negara. Diantaranya adalah pengelolaan SDA yang merupakan harta milik bersama. Asalkan semuanya dikelola berdasarkan syariat Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab. [RA/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis