Dunia Pendidikan Kita, Merdeka atau Mati?

Oleh: Rut Sri Wayuningsih

 

LensaMediaNews— Januari-Februari, semester dua kalender pendidikan sudah dimulai. Jika hari ini putera puteri kita sudah kelas VI, IX, atau XII . Tak terkecuali perguruan tinggi. Maka bisa dipastikan akan ada sosialisasi program belajar baru. Tak banyak perbedaan selain istilah yang digunakan dan muncul adagium turun temurun yaitu setiap ganti menteri pendidikan pasti ganti kurikulum. Seakan menjadi legitimasi jika mereka bekerja adalah dengan mengeluarkan kurikulum baru.

 

Kali ini, ketika menteri pendidikan dijabat oleh Nadiem Karim pun, tak beda dengan menteri-menteri sebelumnya. Malah lebih nyeleneh. Berbau-bau internasional alias menjunjung kebebasan, yaitu Kurikulum Merdeka. Apakah karena beliau pemilik start up? Bisa jadi.

 

Empat Kebijakan Kampus Merdeka siap diluncurkan. Sebagaimana dilansir TEMPO.co, tanggal 24 Januari 2020 program ini merupakan kelanjutan dari Konsep Merdeka Belajar yang diluncurkan sebelumnya. Menurut Nadiem Karim perguruan tinggi harus menjadi ujung tombak yang bergerak tercepat, karena dekat dengan dunia pekerjaan. Sehingga butuh inovasi tercepat pula dari semua unit pendidikan.

 

Empat program itu adalah, pertama kemudahan membuka program studi baru. Artinya pemerintah akan memberikan otonomi bagi perguruan tinggi negeri atau swasta untuk membuka program studi (prodi) baru. Guna menjawab tuntutan kebutuhan industri.

 

Pembukaan prodi baru ini terutama diberikan kepada kampus, baik negeri maupun swasta yang memiliki akreditasi A dan B. Izin akan diberikan dengan syarat kampus mampu bekerja sama dengan pihak ketiga. Diantaranya dengan pelaku industri kelas dunia, organisasi nirlaba kelas dunia, BUMN dan BUMD, atau top 100 world universities berdasarkan QS ranking.

 

Kedua adalah bebas menjadi perguruan tinggi yang berbadan hukum. Ketiga bebas menentukan kurikulum bersama industri dan asing dan keempat adalah SKS ditempuh dengah kuliah dan magang di industri. Demikian pula dengan muatan materi ujian untuk pendidikan dasar 12 tahun, yang mewajibkan ada portofolio bagi setiap siswa. Siswa diberi kebebasan memilih ketrampilan atau jenis bakat dan minat yang sesuai dengan keinginan untuk dikompetisikan.

 

Padahal jika dirunut, tak ada hasil signifikan antara portfolio dengan kesuksesan anak mengarungi kehidupannya kelak. Sebab sesungguhnya proses belajar dengan bekerja berbeda ranah. Bekerja adalah murni rezeki dari Allah. Sebab ia adalah jalan yang ditetapkan sebagai pintu datangnya rezeki dan berbagai kebaikan.

 

Maka tidak ada hal lain alasan yang mendesak ketika meluncurkan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini selain menyempurnakan liberalisasi Perguruan Tinggi dan dunia pendidikan pada umumnya. Boleh dikata, pendidikan kita hari ini merdeka atau mati adalah bergantung dari landasan apa yang diambil sebagai kebijakan.

 

Fenomena ini menjadi bukti bahwa Negara lepas tangan dari pembiayaan Perguruan Tinggi dan sekaligus menyesatkan arah orientasi Perguruan Tinggi. Pernyataan sejenis dari wapres, Ma’ruf Amin yang menegaskan bahwa orientasi pembangunan pendidikan tinggi bukanlah untuk menghasilkan intelektual yang menjadi tulang punggung perubahan menuju kemajuan dan menyelesaikan masalah masyarakat dengah ilmu dan inovasinya bagi kepentingan publik. Namun perguruan tinggi hanya menjadi mesin pencetak tenaga terampil bagi kepentingan industri/kapitalis.

 

Maka slogan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk melakukan pengabdian masyarakat telah berganti wajah menjadi pengabdian bagi kaum kapitalis dan industri. Dan arah itupun makin dipertegas melalui kurikulum merdeka bagi pendidikan dasar. Tak ada jalan panjang menjadi ilmuwan, tapi yang ada jalan menjadi karyawan, sebab hidup adalah bekerja dan waktu adalah uang. Manusia dianggap robot tak berperasaan.

 

Sejatinya ilmuwan adalah orang yang diberi izin oleh Allah untuk mendalami berbagai ilmu dan kemudian menyebarkan dan mengajarkannya kepada banyak orang. Hingga terangkatlah kebodohan, kemunduran dan semua penghambat kemajuan sebuah peradaban.

 

Namun bagaimana jadinya jika semua generasi penuntut ilmu di negeri ini hanya puas dengan status karyawan, buruh, jongos dan entah apalagi. Demi materi yang receh. Padahal jika kita kembali kepada sejarah, gemilangnya peradaban kaum muslim tidak dibangun oleh orang-orang bermental buruh dan dipaksa mengikuti arus buruhisasi. Namun peradaban Islam dibangun oleh ilmuwan, cendekiawan sekaligus faqih fiddin (paham agama).

 

Mereka yang berkontribusi kepada pembangunan bangsa adalah dalam rangka memenuhi panggilan Allah SWT untuk menjadikan ilmunya bermanfaat. Ketakwaan itulah yang melahirkan peradaban mulia, mandiri dari campur tangan bangsa lain, bahkan menjadi pemimpin dunia.

 

Pendidikan dan dunia pendidikan hari ini sudah terkooptasi pemikiran liberal. Secara tersistem mengikuti arah pandang sesat itu dan mengabaikan potensi anak bangsa sendiri. Saatnya kita kembali kepada Islam, yang merupakan arah pandang kehidupan sempurna, dunia akhirat, sebab berasal dari Allah SWT. Tak ada merdeka berpikir atau kampus merdeka, Allah-lah zat yang Maha Tahu yang sudah pula menetapkan landasan berpikir bagi siapa saja yang ingin hidup mulia, yaitu syariat yang mulia. Wallahu a’lam biashowab. [LN/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis