Kisruh Natuna, Islam Solusinya

Oleh: Enok Rumhayati

(Pemerhati Sosial, Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia)

 

LensaMediaNews – Baru-baru ini terjadi pada antara Indonesia dengan Cina terkait Blok Natuna. Kisruh ini diawali dengan masuknya kapal patroli keamanan Cina tersebut ke wilayah yang diakui Indonesia masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sedihnya, Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya. Hal ini didasarkan pada peta yang dikeluarkan oleh Cina tentang nine dash line (cnbcindonesia.com (3/1/2019).

Nine dash line sendiri adalah istilah yang dipakai Cina. Pihak Cina mengklaim bahwa daerah Laut Cina Selatan adalah miliknya hanya karena nenek moyangnya sudah ratusan tahun menangkap ikan di perairan ini. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai masyarakat internasional tidak mengakui nine dash line ini maupun traditional fishing right yang diklaim oleh Cina.

Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menilai hubungan Indonesia dan Cina yang sedang tegang soal perairan Natuna ibarat kakak beradik yang bisa saja mengalami gesekan. Beliau pun menjelaskan hubungan kedua negara baik-baik saja. (finance.detik.com, 08/01/2020).

Terkait hal tersebut, umat harus mengkritisi sikap lunak penguasa karena yang terjadi adalah pelanggaran kedaulatan dan pihak Cina tidak merasa bersalah. Hal ini terbukti dengan pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, yang menjelaskan adanya Coast Guard atau kapal penjaga pantai Cina justru sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan iklan nelayan Cina (traditional fishing right).

Apakah karena sudah jatuh dalam jebakan utang kita tidak tegas dan menggadai kedaulatan negara?
Sedangkan dalam Islam, Cina adalah negara yang statusnya muhariban fi’lan jelas-jelas memerangi umat Islam. Sebut saja di Uyghur misalnya, Cina bertanggung jawab atas pembunuhan muslim Uyghur. Walhasil, hubungan dengannya adalah hubungan perang bukan hubungan bilateral.

Terlebih lagi, tindakan Cina merupakan bagian dari strategi Geopolitik Cina. Natuna termasuk kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki cadangan minyak dan gas cukup besar yang diperlukan untuk perekonomian Cina. Selain menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).

Jika cadangan minyak dan gas dioptimalkan, maka Cina dapat memenuhi sekitar 40% kebutuhan minyak saat tahun 2030 nanti. Padahal seluruh cadangan minyak dan gas alam berada di luar ZEE Cina. Oleh karena itu, laut Cina Selatan itu sangat penting bagi Cina dan merupakan jalur alternatif Cina untuk mengamankan bahan bakar dari timur tengah tanpa harus melewati selat Malaka yang dikendalikan Amerika. Walhasil Pihak Cina berani mengklaim bahwa daerah Laut Cina Selatan adalah miliknya.

Padahal, Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei mengelilingi lautan ini. Kelima negara itu mengklaim memiliki wilayah di Laut Cina Selatan berdasarkan aturan UNCLOS. Tata aturan pembagian wilayah laut yang disepakati dunia internasional. Sayangnya, Cina bersikukuh memakai aturannya sendiri, yaitu Nine Dash Line. Keterlaluan. Dan Indonesia nampak tidak tegas ketika berhadapan dengan Cina.

Sikap lunak seperti ini jelas tidak mungkin terjadi pada negara khilafah. Sebuah model negara yang memiliki konsep yang jelas tentang definisi negara muhariban fi’lan dan tidak akan berhutang pada negara muhariban fi’lan. Selain itu, khilafah adalah model negara dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh sehingga mampu menjadi negara yang kuat dan mandiri. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam yang menyeluruh adalah jalan keluar untuk menjadi negara yang berdaulat hakiki bukan teori.

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis