Ketika Adat Melangkahi Syariat
Elis Sulistiyani
(Komunitas Perindu Surga)
LensaMediaNews— Menjaga warisan turun temurun menjadi salah satu alasan masyarakat di Kampung Talisayan Kecamatan Talisayan untuk melaksanakan tradisi adat Buang Nahas. Tradisi yang dilaksanakan setiap bulan safar bertujuan untuk membuang sial, yang puncaknya disimbolkan dengan memandikan 10 anak oleh pemimpin tokoh adat. (korankaltim.com, 30/12/2016)
Sedikit berbeda masyarakat di Kabupaten Sumedang juga melaksanakan Tari Umbul dengan peserta lebih dari lima ribu peserta. Bupati Sumedang, Doni Ahmad Munir, mengatakan bahwa lewat Tari Umbul ini, ia berharap dapat menarik minat wisatawan luar untuk datang ke Sumedang.
Tari Umbul juga menjadi aset potensial dalam menunjang pariwisata, tuturnya. Dukungan dari pemerintah setempat semakin membuat tradisi ini tumbuh subur. Padahal Tari Umbul identik dengan goyang pinggul yang erotis sehingga yang pada awalnya ada pertentangan, namun diterima kembali setelah ada sedikit perubahan. (tribunnews.com, 31/12/2019 )
Jika kita melihat kekayaan budaya Indonesia yang beragam, memang tak aneh jika pemerintah melihat itu sebagai aset potensial sebagai penarik minat wisatawan, terlebih di saat ekonomi global yang tidak menentu saat ini akibat perang dagang Amerika dan China.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Staf Ahli PPN Bidang Sinergi Ekonomi Pembiayaan Amelia D Widya, mengatakan bahwa di tengah ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor ini juga menjadi jalan pintas menyelamatkan devisa negara karena pariwisata tidak terpengaruh perang dagang. (monitorday.com, 29/6/2019).
Kendati demikian kita tidak bisa serta merta melakukan ritual adat seenaknya tanpa ada batasan syariat. Maka miris menyaksikan Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tak menggunakan syariat dalam standar perbuatannya.
Akidah umat telah banyak tergadai. Disadari atau tidak, segala bentuk adat yang berkembang di masyarakat tak lagi dikontrol dengan kacamata Islam. Sehingga tidak aneh jika kita menemui ritual adat yang tersusupi kesyirikan yang melanggar syariat. Hal ini semakin parah ketika negara tak mau ikut campur urusan akidah, sebab dianggap masuk pada ranah pribadi saja.
Lebih dari itu pesatnya pembangunan sektor pariwisata juga dapat menjadi salah satu celah terbukanya kucuran dana asing, baik melalui pinjaman lunak ataupun investasi. Melalui jalan inilah negara penerima dana akan mudah untuk disetir dan mengokohkan cengkraman penjajahannya.
Aroma kapitalisasi dan liberalisasi sektor pariwisata ini juga berkaitan erat dengan liberalisasi ekonomi yang tengah diterapkan saat ini. Hal ini nampak ketika perusahhan swasta baik lokal maupun asing berlomba-lomba melakukan privatisasi berbagai sumber daya alam (SDA) negeri ini.
Hingga akhirnya kita tidak bisa mengandalkan SDA kita yang melimpah sebagai sumber pendapatan potensial bagi negara, dan beralih pada pariwisata yang dianggap sebagai potensi menggiurkan untuk mengisi devisa negara. Kemandirian ekonomi Indonesia juga kini menjadi pertanyaan besar mengingat keadaan ekonomi Indonesia masih terpengaruh keadaan ekonomi global.
Kompleksnya permasalahan negeri ini akan mampu diselesaikan jika menjadikan Islam sebagai satu-satunya aturan bagi seluruh aspek kehidupan. Islam sendiri memandang adat boleh dilaksanakan selama tak bertentangan dengan syariat.
Karena memang sebagai seorang muslim kita wajib menjadikan syariat sebagai standar perbuatan. Tak terlepas pula dari pandangan Islam terkait sistem ekonomi yang juga mencakup pandangan Islam terhadap pariwisata sebagai sumber pendapatan.
Syaikh Abdul Qodim Zallum (1983), dalam bukunya ‘Sistem Keuangan Negara Khilafah’, telah menjelaskan bagaimana sebuah negara mengatur perputaran roda ekonominya dengan aturan Islam. Islam menjadikan sebuah negara tidak boleh tergantung kepada negara lain dalam “menghidupi” negaranya. Keadaan ini pula yang membuat suatu negara tidak terpengaruh ekonomi global. Islam juga memandang pariwisata tidak memiliki potensi sebagai sumber pendapatan negara.
Secara garis besar Islam menetapkan beberapa sumber pendapatan negara sebagai berikut:
Pertama, dari kepemilikan umum seperti pengelolaan air, padang rumput, api (energi), barang tambang (emas, perak besi, tembaga dll).
Kedua, harta milik negara dan BUMN.
Ketiga, Ghanimah, Kharaj, Fa’i, Jizyah, tbusan tawanan perang. Kelima jenis pendapatan ini hanya bisa ditunaikan dalam daulah Khilafah.
Keempat, zakat, infak, wakaf, hadiah, sedekah. Sumber pendapatan ini merupakan mekanisme distribusi harta yang sifatnya non-ekonomi.
Kelima, pajak. Islam memandang pemungutan pajak diharamkan ketika negara mampu untuk mendapatkan pendapatan negara dari cara lain.
Pemungutan pajak akan dilakukan hanya di saat negara benar-benar tidak memiliki simpanan kas di baitul mal. Pun perlu digarisbawahi bahwa yang akan dimintai pajak hanyalah orang mampu saja.
Dari kelima sumber pendapatan negara tersebut, dipastikan negara tidak akan mengalami defisit keuangan apalagi sampai berhutang. Oleh karena itu, inilah sumber-sumber pendapatan negara yang harus diperjuangkan, bukan dengan mendongkrak pariwisata yang aktivitasnya justru banyak menyalahi hukum Syara’ dan mengundang murka Allah SWT. [LN/LM]