Carut Marut Kepemilikan Publik, Islam Jadi Solusi

Oleh : Elis Sulistiyani

(Komunitas Muslimah Perindu Surga)

 

LensaMediaNews – Alamiahnya setiap insan ingin memiliki penyambung generasi, maka memiliki anak, cucu, cicit adalah cara untuk mengestafetkan eksistensi diri. Lalu apa jadinya jika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga memiliki anak cucu bahkan cicit?  Anak cucu BUMN memang tengah hangat diperbincangkan.

Hal ini terkait dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru saja menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-315/MBU/12/2019 untuk memperketat perizinan pembentukan anak,cucu, hingga cicit perusahaan pelat merah ini. Anak, cucu hingga cicit BUMN selama ini diketahui jumlahnya ratusan (www.finance.detik.com, 13/12/2019).

Menurut ketua Koordinator BUMN Watch, Naldy N Haroen SH, banyak anak cucu perusahaan BUMN yang tidak sesuai bidang usahanya. Menurut Naldy, dari dulu pihaknya menemukan banyak anak cucu perusahaan BUMN yang melakukan monopoli usaha. Menurut catatannya, saat ini terdapat sekitar 600-700 anak cucu perusahaan negara yang tidak sesuai dengan bisnis induknya.

Sehingga kata dia, anak perusahaan inilah yang diduga hanya menggerogoti induk perusahaan dan akhirnya terus merugi (mediaindonesia.com, 15/12/2019). BUMN yang sejatinya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk melayani hajat hidup orang banyak, tidak boleh bermetaformosis menjadi perusahaan yang hanya berorientasi pada profit belaka kala menjadi pelayan rakyat.

Selain itu pengelolaan internal dalam diri BUMN juga tidak boleh serampangan. Hadirnya anak cucu perusahaan BUMN yang tidak efektif bahkan menjadi bancakkan para kapital menunjukkan BUMN  terjebak dalam arus pusaran kapitalis yang hanya mengukur segalanya atas dasar manfaat dan materi belaka.

Hal ini pula didukung oleh negara yang telah terasuki ideologi kapitalis-sekuler yang melegalkan para kapital asing dan aseng untuk mengelola harta publik berupa pertambangan, air, dan sebagainya dengan dalih investasi dan kerjasama yang batil. Padahal ketika pengelolaan kepemilikan publik ini salah, maka pada akhirnya hanya akan menguntungkan segelintir oligarki kekuasaan sedangkan rakyat hanya mendapat kesengsaraan. Entah itu kerusakan alam, tidak mendapat hak yang sepatutnya sebagai hasil dari pengelolaan BUMN dan juga dampak kesehatan.

Seharusnya harta yang merupakan kepemilikkan publik seperti BUMN, tidak boleh dikelola oleh swasta apalagi sampai dimilki oleh asing. Hal ini pula yang dijelaskan Islam dalam pengaturan sistem ekonominya. Dalam Islam diatur kepemilikkan dikategorikan menjadi 3 yaitu;

Pertama, kepemilikkan individu, Islam memperbolehkan kepemilikan individu dan memberikan batasan mekanisme dalam memperolehnya, bukan membatasi kuantitas. Cara ini akan mampu mengatur hubungan antar manusia dengan terpenuhinya kebutuhan.

Kedua,  kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, masjid, udara, emas, perak, minyak wangi, dan sebagainya) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya mengambil sedikit upah per khidmat.

Kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagainya.

Maka dari sini kita akan mampu  melihat perbedaan mendasar antara kapitalisme dengan Islam dalam pandangannya mengenai pengelolaan ekonomi suatu negara. Saat ini pula sudah sepatutnya kita campakkan kapitalisme yang sudah jelas berada di ambang kehancurannya. Kita kembali kepada Islam agama yang sempurna, yang mampu memberi solusi atas segala problematika kehidupan manusia.

 

[ra/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis