Menakar Efektivitas Kebijakan Merdeka Belajar

Oleh: Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

 

LensaMediaNews— Ada yang menarik dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim saat menghadiri rapat kerja Komisi X DPR di DPR. Selain menjelaskan Empat Pokok Kebijakan Pendidikan ” Merdeka Belajar” yang terdiri dari, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan sistem zonasi yang fleksibel dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di hadapan anggota Komisi X DPR.

 

Nadiem menilai bahwa saat ini dunia tidak butuh siswa yang hanya jago menghafal. Penghafalan itu menurut Nadiem hanya menyentuh aspek memori saja. Untuk itu UN akan diganti dengan assessmen kompetensi. Nadiem juga menilai UN belum menyentuh kepada karakter siswa. Maka tak heran jika ujian nasional hanya akan ada sampai tahun 2020. Setelah itu asesmen kompetensi minimum dan survei karakter akan diterapkan pada tahun 2021. Hal ini juga akan mendorong kompetisi guru untuk lebih berinovasi dalam mendidik siswanya (Kompas.com 14/12/19).

 

Sepintas kebijakan yang digulirkan bak angin segar bagi dunia pendidikan. Upaya rekonsiliasi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Tak dipungkiri senantiasa mampu menarik perhatian publik dan melambungkan harapan. Namun jika kita cermati niscaya didapati bahwa kebijakan tersebut hanya menyentuh aspek teknis implementasi. Belum sampai pada akar masalah yang hakiki.

 

Dunia pendidikan hari ini memang tidak memberi ruang bagi dihasilkannya output sumber daya manusia yang hanya pandai menghafal tanpa kemampuan memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya. Namun dunia pendidikan hari ini hanya akan menghasilkan generasi individualistik nan materialistik jika diisi oleh insan berliterasi dan berkarakter universal yang lepas dari tuntunan Illahi.

 

Ironisnya kondisi inilah yang tengah dihadapi oleh dunia pendidikan nasional. Arkeologi pendidikan yang terjadi di ruang-ruang kelas saat ini sarat dengan perwujudan liberalisme. Mulai dari tingginya biaya pendidikan, privatisasi beberapa Perguruan Tinggi Negeri terkemuka, hingga praktik jual beli ijazah menjadi potret pendidikan negeri tercinta. Sekolah tak lagi menjadi sarana pencerdasan kehidupan bangsa, tapi bergeser menjadi ladang kapitalisme.

 

Kualitas output pendidikan masih senantiasa jadi isu sentral atas segudang problematika dunia pendidikan. Sayangnya kebijakan baru sang menteri untuk memperbaiki kualitas output pendidikan tak lebih dari sekedar berorientasi pada menyiapkan tenaga kerja siap pakai. Terbukti dari kebijakan merdeka belajar yang lebih ditujukan pada penguasaan skill, kompetensi dan kemampuan berkompetisi. Sementara disisi lain jati diri mereka sebagai manusia justru kian diliberalkan.

 

Keterbukaan dan derasnya arus informasi yang menjadi ciri dari kemerdekaan belajar. Menempatkan para peserta didik pada posisi yang rentan terseret jauh dari nilai-nilai budaya, norma dan agama. Sedang pendidik dengan bekal kompetensi yang tidak memadai menjadi beban sekaligus pintu keterbukaan ilmu yang tidak terkontrol bagi siswa.

 

Maka menjauhkan agama dalam mewujudkan tujuan mulia pendidikan adalah sebuah kekeliruan besar. Dampaknya berupa dekadensi moral yang menjadi bencana di negeri tercinta. Pergaulan bebas merebak, maraknya prilaku seks menyimpang, tawuran, penyalahgunaan narkoba, tindak kriminal bahkan lunturnya adab sopan santun siswa kepada guru menjadi pemandangan harian yang menghias media pemberitaan.

 

Karenanya menerapkan aturan Islam secara totalitas dalam kehidupan menjadi kebutuhan yang mesti diupayakan. Termasuk dibidang pendidikan. Sistem pendidikan Islam memiliki proses belajar yang didesain sedemikian rupa agar setiap peserta didik mampu mengaktualisasikan perpaduan antara kecerdasan duniawi dan ukhrowi. Tak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tapi juga memiliki pemahaman Islam yang mumpuni. Kurikulum pendidikannya disusun berdasarkan aqidah Islam. Konsekuensinya, materi ajar dan metodologi penyampaiannya seluruhnya disusun tanpa ada penyimpangan dari azas tersebut.

 

Sejarah telah mengabadikan bagaimana penerapan sistem pendidikan Islam telah menghadirkan banyak ilmuwan dan cendekiawan muslim. Antara lain Alhazen, ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan dan filsafat. Al Kindi, ilmuwan ensiklopedia, pengarang 270 buku, ahli matematika, fisika, musik, kedokteran, farmasi dan geografi. Ibnu Sina pengarang 450 buku filosofi dan kedokteran. Serta masih banyak lagi intelektual muslim lainnya. Waktu mereka terdedikasikan sepenuhnya untuk meraih kemajuan dan kesejahteraan umat. Sebagai wujud ketundukan atas syariat-Nya.

 

Demikianlah jika kita sungguh mengharapkan hadirnya kembali generasi emas peradaban gemilang. Maka penerapan sistem pendidikan Islam sebagai pengganti sistem pendidikan sekuler perlu diwujudkan. Agar dengan ijin Allah masa kejayaan Islam kan segera terulang. Wallahu a’lam bia showab. [ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis