Derita Muslim Uighur yang Membutuhkan Sosok Pelindung
Oleh: Zhuhriana Putri
(Aktivis Kampus USU)
LensaMediaNews— Kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uighur yang telah bermula dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini belum juga usai. Begitu juga yang dialami oleh etnis minoritas Muslim Rohingya yang mendapatkan penyiksaan dari Pemerintah Myanmar. Dan kaum muslim di belahan bumi lainnya seperti di Palestina dan Suriah yang hingga kini dirampas hak asasinya tanpa rasa kemanusiaan.
Realita yang terjadi terhadap kaum muslim di beberapa belahan bumi ini akan terus terjadi jika para penguasa dan pemimpin dari negeri-negeri mayoritas muslim tetap memilih diam dan bungkam tanpa membela kaum muslim yang mengalami penyiksaan tersebut. Padahal kita menyadari bahwa para pemimpin muslim hari ini memiliki andil untuk menghentikan tindakan kekerasan tersebut. Seperti Indonesia, posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN maupun anggota Dewan Keamanan Dunia, seharusnya mampu menunjukkan sikap pembelaan terhadap penyiksaan yang dialami Muslim Uighur maupun Muslim Rohingya.
Bila ada negeri kecil yang jauh di Afrika Barat (Gambia) menunjukkan protes dan menggugat kekejaman Myanmar terhadap Rohingya melalui lembaga dunia, seharusnya hal ini menggugah seluruh dunia Islam untuk bersikap lebih baik dan menghentikan sikap bungkamnya sebagai manifestasi ukhuwah Islamiyah.
“Ini malah dilakukan oleh negara yang jauh di luar kawasan, Afrika. Ini bukan sinyal bagus. Ini jadi satu catatan negatif negara-negara ASEAN yang mestinya lebih peduli terhadap nasib kaum Rohingya dibandingkan negara nan jauh di Afrika,” kata Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (12/12).
Tapi apalah daya, mayoritas pemerintah negara Muslim hari ini telah terikat perjanjian dengan negara konglomerat yang menjadi dalang terjadinya tindakan kekerasan tersebut, seperti China, baik dalam hal politik, ekonomi, dan kebijakan luar negeri. Hal ini yang menjadi penyebab utama kebisuan mereka untuk membela Muslim negeri lainnya.
Seperti pernyataan yang dikutip dari tempo.co, Pakar kebijakan China Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim.
Maka, kita sebagai kaum muslim yang diibaratkan satu tubuh dengan kaum muslim lainnya, tidak akan bisa terus berdiam diri melihat penyiksaan yang dialami oleh etnis muslim Uighur, Rohingya, dan Palestina. Seharusnya kita semakin sadar bahwa kita tidak bisa berharap perlindungan itu datang dari para pemimpin muslim hari ini maupun dari lembaga-lembaga keamanan dunia. Karena sistem hari ini semakin nyata menunjukkan kebencian dan ketidak berpihakan terhadap hak-hak asasi umat Islam.
Tentu kita sangat merindukan sosok pemimpin dan penguasa seperti Mu’tasim Billah, yaitu seorang Khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah yang menyiapkan puluhan ribu pasukan hanya demi membela dan menyahut seruan seorang budak muslimah yang meminta pertolongan karena dilecehkan oleh seorang Romawi. Sosok pemimpin seperti ini tentu akan kita temukan dalam sistem kehidupan Islam. Sistem yang menjalankan syariat Sang Pencipta tentu akan melahirkan sosok pemimpin yang taat syari’at, yang hanya takut akan azab Ilahi dan memiliki tanggung jawab penuh dalam membela dan menjaga hak-hak manusia. Sudah saatnya kita memperjuangkan penerapan kembali syari’at kaffah dalam bingkai khilafah, karena hanya Islam lah satu-satunya solusi yang mampu menyelamatkan penderitaan kaum muslim di seluruh dunia. [Hw/Lm]