Liberalisasi Seksual : Kerusakan Moral di Sistem Liberal

Oleh : Punky Purboyowati S. S

(Komunitas Pena, Muslimah ElMahira)

 

LensaMediaNews – Kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transgender) terus menjadi perbincangan tanpa henti. Keberadaan mereka seolah harus diakui bahkan dilindungi apalagi perlu didukung atas nama persamaan hak. Polemik kian memanas ketika dikeluarkannya keputusan persyaratan khusus ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bagi kaum LGBT oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementrian Perdagangan (Kemendag).

Keduanya menuangkan syarat pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan perilaku (transgender)”. Kejagung sendiri memiliki landasan yuridis untuk melarang CPNS dari kalangan LGBT mengikuti seleksi pegawai negeri sipil (CPNS) 2019 di institusinya. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Mukri, menjelaskan adanya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI 23/2019 tentang Kriteria Penetapan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019, bahwa instansi diperbolehkan menambah syarat sesuai karakteristik jabatan. (nasional.kompas.com,27/11/2019).

Namun sikap tegas tersebut ditentang oleh beragam partai bahkan dari pimpinan partai Islam. Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dalam cuitannya di akun Twitter Gerindra @Gerindra yang tak setuju dengan penolakan terhadap CPNS dari kalangan LGBT. Ia menekankan semua mempunyai hak yang sama di muka hukum. Adapun menurut petinggi partai Islam, Asrul Sani, bahwa larangan LGBT ikuti CPNS merupakan tindakan diskriminatif. Sementara itu Setara Institute, Halili menilai bahwa larangan peserta LGBT dalam seleksi CPNS 2019 sebagai tindakan diskriminatif. Potensi diskriminasi semakin besar dengan tidak adanya kepastian hukum.

Polemik LGBT atas nama persamaan hak dan diskriminasi ini sangat jelas sekali siapa yang berperan di belakangnya. Sebut saja media. LGBT kian meluas tak luput dari peran media. Media sangat massif mengarusutamakan LGBT. Karena itu konglomerasi media turut serta mengecam keputusan tersebut dan menganggap regulasi yang ada adalah diskriminatif, tidak bertransformasi dengan perubahan tipologi masyarakat dan lain sebagainya.

Hal itu terjadi akibat dari sistem Kapitalistik Sekuler. Moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan dan kepentingan bisnis dimenangkan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM. Dengan istilah lain tiada bisnis tanpa media. Demi keuntungan bisnis, media mampu melakukan apapun. Yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Rusaknya moral semakin meluas ketika media liberal turut mendukung mereka.

Sementara negara tak tegas menghukum kaum ini. Justru mendapat payung hukum dengan dalih HAM. Maka letak persoalannya adalah ketika hukum dan aturan yang ditegakkan tidak sesuai fitrah manusia, maka liberalisasi seksual akan senantiasa hidup bahkan kian subur. Liberalisasi seksual muncul dari rusaknya moral di sistem yang liberal pula.

Sementara itu, di kala masyarakat berupaya mengubah kondisi moral agar kembali pada ajaran sang pencipta yaitu Allah SWT justru mengalami diskriminasi bahkan dieksekusi dengan berbagai alasan. Padahal rusaknya moral yang terjadi saat ini oleh karena diterapkannya aturan Kapitalis Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan melahirkan aturan yang penuh dengan ketidakadilan.

Padahal Islam bukan sekadar agama, melainkan sebuah sistem aturan (ideologi) yang mampu melindungi umat dari penyimpangan akidah dan moral. Islam menuntun Negara menjadi penjaga moralitas, menerapkan aturan Islam sebagai pijakan ukuran. Yaitu baik dan buruknya perbuatan harus disandarkan pada hukum syara‘ (syariat Islam) bukan menurut hawa nafsu manusia. Hukum dan aturan Islam bersifat tegas yang dapat diterapkan secara adil dan tidak diskriminatif.

Wallahua’lam bisshowab.

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis