Kasus Sukmawati, Negara Tak Boleh Abai
Beberapa hari ini publik tersorot oleh ulah salah satu tokoh nasional yang membandingkan ayahnya, Ir. Soekarno dengan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Pertanyaannya yang bernada peyoratif tersebut membuat orang awam pun akhirnya berpikir. Tidaklah mungkin ada muslim yang tidak mengetahui fakta bahwa Baginda Rasul adalah utusan Allah, suri teladan bagi umat seluruh alam sampai di akhir zaman. Lantas mengapa tokoh nasional ini berani mengeluarkan pernyataan yang menggegerkan jagat raya?
Rasulullah SAW adalah sumber inti inspirasi bagi kemerdekaan negeri ini dari belenggu penjajah. Setiap muslim tahu itu. Jadi, apabila ada orang-orang tertentu yang senang mengulang-ulang penghinaannya, apalagi dia muslim, sangat mungkin terbersit di hatinya rasa dengki terhadap Islam.
Lemahnya proses hukum dan diamnya para ulama di era kini, membuat orang semakin berani menunjukkan ketidaksukaan terhadap Nabi dan ajarannya. Kita tentu sudah hafal bagaimana kasus-kasus penghinaan sebelumnya tidak pernah berlanjut ke pengadilan. Tersangka dibebaskan. Sebagian ulama dan tokoh muslim pun bahkan merasa baik-baik saja, karena menurut mereka diam dan bersabar adalah kebaikan.
Wajar jika umat akhirnya geram. Umat menyadari betul sindiran Imam Syafi’i bahwa siapa yang dibuat marah namun tidak marah, maka ia adalah keledai. Apalagi dalam Islam, hukuman yang pantas bagi penghina Allah dan Rasul-Nya adalah hukuman mati. Hal ini dijelaskan panjang lebar oleh Qadhi Iyadh dalam kitab Al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa.
Oleh karena itu, negara harus mengambil peran. Semua kegaduhan ini tidak akan terjadi kalau negara menjalankan fungsinya sebagai junnah (perisai) yang amanah dalam mengayomi rakyat. Negara wajib memberikan efek jera bagi penghina Nabi. Jangan sampai umat dibiarkan berlarut-larut dalam kemarahannya dan berujung main hakim sendiri.
Tien Soekatno
Bukit Cimanggu City, Bogor
[ah/LM]