Moderasi Agama dan Perjuangan Mahasiswa
Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
(Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
LensaMediaNews – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari di Dialog Budaya Keagamaan Nusantara, Senin (16/9/2019), menyampaikan moderasi agama penting dikedepankan untuk sikapi keragaman. Diungkapkannya, sikap moderat itu ditandai dengan mencari titik temu dalam perbedaan dan mengakui perbedaan dalam persamaan (Jejakrekam.com, 17/9/2019).
Dalam Rapat Terbatas (Ratas) Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PTKIN se-Indonesia dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Ditjen Pendidikan Islam, Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga menerangkan dengan kewenangan yang jelas akan secara mantap dan sistematis mengembangkan Mahad Al-Jamiah, apalagi di saat didera dengan maraknya paham radikalisme dan intoleransi. “Mahad Al Jamiah akan menjadi laboratorium mencetak maha santri yang moderat dan menjadi kekuatan garda terdepan melawan radikalisme, katanya (Diktis.kemenag.go.id).
Rand Corporation dalam Building Moderate Muslim Networks menjelaskan karakter Islam moderat, yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang non sekterian, dan menentang terorisme. Jelaslah, Islam moderat adalah Islam jalan tengah yang bisa menerima segala bentuk sekularisme dan tentu saja bertentangan dengan syariat Islam.
Saat ini kampus UIN telah menjadi corong utama liberalisasi agama di negeri ini. Termasuk UIN Antasari Banjarmasin. Banyak upaya dilakukan untuk menghadang Islam kaffah, alias Islam sebenarnya. Terutama mengarahkan pemikiran mahasiswa UIN untuk menjadi liberalis sejati.
Padahal, liberalisme merupakan paham yang berasal dari Barat, tidak sesuai dengan Islam. Liberalisme lahir dari sistem sekular Kapitalisme neoliberal. Menyengsarakan sebagian besar manusia. Misalnya, liberalisasi pendidikan, membuat generasi lemah tanpa arah, hidup hanya berorientasi materi, akhirnya terjerumus seks bebas, narkoba, LGBT dan bunuh diri. Liberalisasi bidang ekonomi, seperti pengelolaan SDA berujung kerusakan lingkungan dan dirampasnya kekayaan rakyat. Hingga, sistem demokrasi berbiaya tinggi, membuat para pejabat korupsi. Inilah beberapa fakta kerusakan akibat liberalisasi yang membelit negeri.
Upaya moderasi agama dan liberalisasi menurut kehendak Barat sengaja digencarkan ke negeri kaum Muslim. Menjauhkan kaum Muslim mencintai identitasnya. Agar umat tak dapat bangkit dengan berpegang pada petunjuk dien Islam. Karena ketika kaum muslimin kembali pada syariah-Nya, para penjajah Barat tidak bisa lagi menyedot kekayaan milik umat. Sehingga terus mempropagandakan moderasi agama, termasuk pada mahasiswa.
Sejatinya, risalah Ilahi-lah penuntun dalam meniti kehidupan ini. Kita harus mengadopsi aturan Allah SWT, Pencipta seluruh manusia. Dialah Mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya. Agar terhindar dari jalan yang sesat, selamat sampai hari kiamat.
Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS. Al-Baqarah: 208).
Islam hanya satu, Islam Kaffah. Tak ada yang lain. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan secara paripurna. Berada dalam garis lurus tanpa menyatukan dengan agama lainnya, karena hanya Islam agama yang benar dan diridhoi Allah SWT. Tak boleh menyamakan Islam atau mengkompromikannya dengan agama yang lain.
Fakta dari kehidupan Rasulullah Saw di Madinah bisa menjadi contoh nyata, bagaimana Islam mengatur kehidupan berdampingan dengan non-muslim. Di Madinah, tidak hanya terdapat pemeluk agama Islam, namun juga ada orang-orang Yahudi. Ketika beliau datang, beliau tidak lantas mengusir orang-orang Yahudi dari kampungnya. Rasulullah Saw membuat perjanjian untuk saling menghormati dan melindungi. Perjanjian tersebut adalah salah satu isi dari Piagam Madinah, yang merupakan salah satu konstitusi negara Islam.
Salah satu pasal Piagam Madinah menyebutkan, Orang-orang Yahudi Bani `Auf merupakan satu bangsa dengan umat Islam. Orang Yahudi berhak memeluk agama mereka, dan kaum Muslim pun berhak memegang agama mereka.
Pasal 16 dari perjanjian tersebut berbunyi, Orang Yahudi yang mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan kami dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Dia tidak boleh dizalimi dan tidak boleh diserang. (Syeikh Muhammad Khudhari Bek, 2013, Negara Khilafah Jil. 1 hal 158, PTI).
Sejarah telah membuktikan, ketika Islam menjadi sistem kehidupan, semua warga termasuk pemeluk agama lain merasakan kedamaian dan keadilan Islam. Pemahaman Islam yang shahih (benar) inilah yang seharusnya diserukan, disebarluaskan, dan diajarkan kepada generasi. Apalagi, kampus sebagai wadah membentuk mahasiswa yang bermental pejuang dan calon pemimpin. Mahasiswa yang kritis, peduli terhadap segala yang menimpa rakyat, dan memberikan contoh terbaik sebagai agen perubahan menuju peradaban gemilang dengan Islam.
Walllahu a’lam bishowab.
[LS/Hw]