Solusi Mengakhiri Kasus Korupsi

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd

(Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)

 

LensaMediaNews – Komisi Hukum DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Rapat Paripurna. Salah satu poin strategis yang sudah disepakati dalam Revisi UU Pemasyarakatan itu adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme (cnnindonesia.com, 18/9/2019).

Pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Berdasarkan naskah Revisi UU KPK per 16 September 2019 yang telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR terlihat sejumlah pasal-pasal yang dinilai dapat melemahkan KPK. Selain itu, Revisi UU KPK juga memberikan dampak lain berupa korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti (tribunnews.com, 21/9/2019).

Berulang kali kita amati pejabat tersangkut korupsi. Penggelapan uang rakyat kian marak. Apakah yang menyebabkan banyak pejabat terserat korupsi? Sistem politik yang mahal adalah penyebab utamanya. Biaya di sistem kapitalis-demokrasi untuk pencalonan yang sangat tinggi, kadang tak sebanding dengan gaji yang diterima ketika menjabat. Belum lagi suap, dan transaksi memuluskan jalan pintas meraih kekuasaan. Ketika ada peluang, digunakanlah kekuasaan untuk membalikkan modal.

Keimanan yang lemah membuat kalap mata melakukan penyalahgunaan. Gaya hidup hedonis, ingin tampil mewah, serta tuntutan keluarga juga menjadi faktor pendorong melakukan korupsi. Ditambah sanksi hukum bagi koruptor tidak memberikan efek jera dan takut. Meski bersalah, masih bisa kabur ke luar negeri. Sehingga, menyelesaikan korupsi di negeri ini seperti menegakkan benang basah.

Sementara itu, para penindak koruptor dilemahkan. KPK tidak bisa leluasa mengungkap korupsi. Terhalang RUU baru. Sementara, penguasa seperti tak serius menyelesaikan masalah ini.

Sejatinya, akar masalah makin berjaya kasus korupsi di negeri adalah akibat penerapan sistem demokrasi dan pemilihan pejabat publik yang membuka celah bagi koruptor dan aspirasinya masuk ke ranah legislasi. Bahkan, orang yang baik sekaligus akan menjadi sama saat tercebur ke dalam lembah sistem kapitalisme ini.

Sistem sekuler yang diterapkan kini membuat koruptor kian menjamur. Karena ketakwaan dan pedoman agama tidak dijadikan asas dalam mengatur urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga aturan tidak berpihak pada kebenaran hakiki. Bahkan, korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka lebar di dalam sistem kapitalisme neoliberal.

Umat butuh sistem yang mengeliminasi kasus-kasus korupsi, yakni sistem Islam dengan tiga pilar penegakan hukumnya. Berupa ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penegakan sanksi hukum oleh negara. Sehingga, kasus korupsi benar-benar bisa dieleminasi.

Jabatan atau kekuasaan adalah amanah bagi pemimpin. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar sebagai berikut: “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya ….” [HR al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, IV/6, hadits no. 2751 dan HR Muslim, Shahih Muslim, VI/7, hadits no. 4828].

Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, akan mencegah secara komprehensif segala kemaksiatan termasuk kejahatan korupsi. Negara melalui sistem pendidikan Islam akan membentuk ketakwaan seluruh individu juga kesadaran masyarakatnya untuk selalu memberikan nasihat dan koreksi. Negara akan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Para pejabat diberikan gaji yang layak dan mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Adapun korupsi tidak termasuk perbuatan mencuri dalam pandangan syariah, maka kejahatan ini tidak terkategori hudud. Tetapi, masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Sistem Islam akan menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Seperti di masa Khalifah Umar bin Khatthab yang pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Beliau pun mengangkat pengawas khusus, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Dengan penerapan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas. Individu yang bertakwa, pengawasan masyarakat dan teladan pemimpin. Serta hukuman setimpal, larangan pemberian suap, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, maka korupsi dapat diatasi. Islam melalui syariat-Nya telah memberikan jalan yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih.

 

[LS/LNr] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis