merdeka

Genap sudah 74 tahun, negeri ini menyatakan kemerdekaannya. Secara angka usianya sudah sangat mapan. Betapa tidak, bila dikonversikan dengan usia manusia kini saatnya menikmati masa santai sambil sesekali menyeruput kopi panas ditemani kue tradisional aneka rupa. Tidak perlu terlalu kerja keras, anak cucu pun sudah cukup untuk dimanjai. Begitulah kira-kira sepintas khayalan untuk negeri tercinta ini.

Namun apa hendak dikata, lantang suara dari atas terdengar “kerja, kerja dan kerja.” Membangunkan semua orang yang masih ingin menghirup udara yang tak begitu segar lagi. Mengisyaratkan sedetikpun tidak boleh bersantai melainkan harus kerja tiga kali lebih keras dari biasa. Bak gayuh bersambut, semua sarjana memiliki impian pula untuk bekerja. Tapi sayang, lapangan pekerjaan tidak juga tersedia. Sehingga pengangguran terpaksa diisikan pada kolom pekerjaan.

Beginilah nasib penerus bangsa. Pengangguran terus meningkat. Kemudian perusahaan negara berbaris antri pula menjadi swasta. Ide ini didukung pula oleh para penguasa. Seakan itu bukan tugas dan tangggung jawabnya, solusi yang ditawarkan kian menambah luka. Kini masyarakat dituntun kembali meneriakan “Merdeka.” Padahal kemiskinan dan kebodohan hampir  merata dirasa. Kesejahteraan menjadi fatamorgana, adapun petinggi sibuk dengan bagi-bagi kuasa.

Sekiranya masyarakat benar menyadarinya, tentu kemelaratan dan kesempitan hidup ini akan segera sirna. Allah Subahana wa Ta’ala berfirman “Dan barang siapa yang berpalin dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan yang buta.” (TQS. Thaha: 124).

Maka sudah seharusnya kita semua bersegera untuk kembali menjadi merdeka. Merdeka yang sebenarnya-benarnya yakni merdeka dari menjadi hamba dunia, menuju penghambaan kepada Allah Subahana wa Ta’ala saja. Sehingga keberkahan dari langit dan bumi akan segera dirasakan, insya Allah.

 

Widya Soviana

 

[LS/Ra] 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis