Inovasi Dikriminalisasi, Indonesia dalam Cengkeraman Korporasi Kapitalisme

Oleh Iiv Febriana
(Komunitas Muslimah Rindu Syariah Sidoarjo)

 

LenSaMediaNews– Di Provinsi Aceh seorang Kepala Desa (Keuchik) Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Aceh bernama Teungku (Tgk) Munirwan, telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena diduga memproduksi dan mengedarkan benih padi unggulan, yaitu bibit padi jenis IF8 yang disebut belum disertifikasi atau berlabel. Sungguh ironis, kepala desa peraih penghargaan Inovasi Desa Tingkat Nasional ini justru dipolisikan oleh otoritas yang seharusnya mengapresiasi inovasinya dalam mengembangkan pertanian di desanya. (Tribunjabar.id, 26/07/2019)

Kasus tersebut bagi Muksalmina Asgara, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indonesia (Apdesi) Provinsi Aceh, terkesan janggal. Pasalnya, benih IF8 ini sudah menjadi icon Kabupaten Aceh Utara dalam Bursa Inovasi Desa tingkat nasional tahun 2018 lalu. Dalam ajang tersebut benih ini di promosikan sebagai simbol keberhasilan produk desa yang layak dicontoh dan diberi apresiasi oleh Bupati Aceh Utara. (Desapedia.id, 26/07/2019)

Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh selaku pendamping hukum Tgk Munirwan mengatakan kliennya ditahan dalam posisinya sebagai Direktur PT Bumades Nisami, badan usaha yang didirikan masyarakat desa Meunasah Rayeuk untuk mendorong sektor pertanian di desanya. Di sana, Tgk Munirwan mengembangkan benih padi IF8 dengan kelompok tani di desanya dari benih padi bantuan dari pemerintah Aceh yang diberikan secara cuma-cuma. (Republika.co.id, 30/07/2019)

 

Inovasi Minim Apresiasi

Secara logika, inovasi yang di kembangkan Tgk Munirman ini harusnya mendapat apresiasi dan tidak semestinya berurusan dengan hukum. Apa yang sudah dia kembangkan justru memiliki manfaat yang luar biasa untuk ketahanan pangan Indonesia di masa depan. Apalagi jika kita melihat permasalahan ketahanan pangan Indonesia yang selalu menggunakan impor sebagai solusi mengatasi kelangkaan bahan pangan. Jika negara sudah memiliki ketergantungan pangan pada impor, maka otomatis akan mengancam pertahanan negara.

Dikutip dari Bisnis.com, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Ketua Umum Dwi Andreas Santosa mengatakan, saat ini kebutuhan pangan ditopang oleh impor sebesar 22 juta ton untuk 21 komoditas tanaman pangan. Dan Indonesia tidak akan bisa keluar dari ketergantungan impor pangan. Jadi tidak mungkin, keluar dari ketergantungan itu semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya, Dwi justru beranggapan Indonesia sudah masuk dalam perangkap impor.

Siapa yang diuntungkan? Tentunya bukan rakyat, tapi pihak pemodal yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah dalam mengusahakan impor bahan bahan pangan. Nyatanya negeri ini tidak miskin dari para penemu-penemu yang memiliki kompetensi yang mumpuni. Negeri kita pun kaya akan sumber daya alam, ditambah pula kondisi tanah dan iklim yang mendukung untuk perkembangan inovasi di bidang ketahanan pangan. Lalu mengapa solusi kelangkaan bahan pangan selalu diselesaikan dengan cara impor?

 

Islam Solusi Ketahanan Pangan

Dalam sistem Demokrasi Liberal, kebijakan harus sejalan dengan kepentingan korporasi dalam hal ini pemegang modal, sehingga tak heran kebijakannya selalu berubah. Inovasi sulit berkembang, karena selalu dihadang oleh mafia kartel dalam bidang pangan. Yang menjadi hal terpenting adalah bagaimana menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dengan usaha seminimal mungkin.

Sedangkan dalam Islam, perkembangan sains dan teknologi menjadi hal yang sangat penting dalam membangun peradaban Islam. Sebutlah nama-nama, seperti Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayyam. Tak seorang pun, baik di Timur ataupun di Barat, yang meragukan kualitas keilmuan mereka.

Apa yang mendorong lahirnya para inovator tersebut tak lain adalah Islam itu sendiri. Banyak ayat Al quran yang memerintahkan umat Islam agar menggunakan akalnya seperti Surat Ar-rum [30] ayat 22, Al Baqarah [2] ayat 164 dan banyak lagi.

Di sisi lain, institusi Islam yaitu Daulah Khilafah memberikan fasilitas dan kemudahaan bagi perkembangan sains dan teknologi. Tidak menutup diri untuk mengirim pelajar ke negeri seberang jika diperlukan untuk mempelajari ilmu tertentu.

Dalam hal pendidikan, khalifah mendirikan sekolah-sekolah, lembaga pendidikan tinggi, observatorium, dan perpustakaan. Perpustakaan yang sangat terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah bernama Bayt Al-Hikmah (Rumah Kearifan).

Dengan optimalisasi hal-hal tersebut maka tak heran jika dunia Islam menjadi magnet bagi Barat untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan dalam Islam. Mulai dari pertanian, perkebunan, kedokteran, perbintangan, kesehatan, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.

Maka tak ada jalan lain untuk mencabut cengkeraman korporasi selain dengan kembali kepada Islam kaffah yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu’alam bishshowab.

 

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis