Isu Radikalisme: Upaya Membendung Kebangkitan Islam
Oleh: Ummu Salman
LensaMediaNews- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan bahwa Azwar Hasan bukan merupakan pendukung gerakan radikal Islam. Seperti yang diketahui, Azwar Hasan merupakan salah satu Komisioner KPI yang baru saja dipilih DPR untuk menjabat masa bakti 2019-2022. Terpilihnya Azwar menimbulkan polemik karena dianggap mendukung gerakan Islam radikal dengan bergabung dalam Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam di Makassar (Fajar.co.id, 30/07/2019).
Tafsir Radikal ala Barat
Pernyataan bapak Jusuf Kalla tersebut semakin memperjelas, ke mana arah isu radikalisme selama ini ditujukan. Tentu Barat tidak akan senang dan rida pada geliat kebangkitan Islam yang semakin hari semakin terlihat pada diri umat Islam, terkhusus di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Barat akan terus mengarahkan pandangannya ke bangsa ini untuk melakukan pengamatan secara serius, jika ada upaya menuju kebangkitan Islam.
Berbagai upaya mereka lakukan untuk membendung laju kebangkitan Islam, salah satunya adalah dengan menghembuskan ide radikalisme. Radikalisme ditafsirkan oleh Barat sebagai siapa saja yang berjuang untuk kebangkitan Islam. Maka organisasi apapun atau siapapun yang lantang meneriakkan kebangkitan Islam, merekalah organisasi radikal juga orang-orang yang terpapar paham radikal.
Menurut Direktur Pengkajian Kebijakan Strategis Pusat HAM Islam Indonesia (PUSHAMI), Jaka Setiawan, banyaknya konflik dan perpecahan di internal umat Islam tidak melulu berlangsung secara alami, ada fakta memang didesain agar terus berkonflik. Sebagaimana strategi pecah belah dengan penggunaan istilah Islam moderat, fundamentalis, dan modernis yang dimunculkan oleh lembaga kajian strategis atau Think Tank asal Amerika Serikat, Rand Corporation (Voa-Islam.com, 30/11/2017).
Rand Corporation adalah sebuah Pusat Penelitian & Pengkajian Strategi tentang Islam dan Timur Tengah yang berpusat di Santa Monica, California, dan Arington, Virginia, Amerika Serikat. Kajian penting pertama yang dilakukan Rand Corporation adalah melakukan klasifikasi terhadap umat Islam.
Rand corporation mendefinisikan Islam Fundamentalis sebagai kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan syariat Islam. Sedangkan Islam Modernis adalah kelompok masyarakat Islam modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas (Globalmuslim.web.id).
Isu radikalisme pun diiamini oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Salah satu ‘prestasi’ yang mereka torehkan adalah keberhasilan membubarkan organisasi yang selama ini teguh memperjuangkan syariah dan khilafah. Di mana kampus pun tidak lepas dari isu radikalisme ini.
Framing radikalisme ala Barat ini setidaknya cukup ampuh membuat ketakutan kepada sebagian muslim. Kata-kata semisal khilafah, syariat Islam, ataupun tauhid, tiba-tiba menjadi kata yang menakutkan untuk disebut. Termasuk orang-orang yang rekam jejaknya pernah menyerukan penegakan syariat pun menjadi polemik, ketika mereka harus duduk pada posisi-posisi tertentu dalam negeri ini. Seperti terpilihnya bapak Azwar Hasan sebagai salah satu komisioner KPI, yang dianggap radikal dan mendukung gerakan radikal. Karena sebelumnya pernah bergabung dalam Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam di Makassar.
Sebagian muslim pun menjadi phobia sekaligus alergi jika dirinya disebut sebagai muslim radikal. Sebaliknya mereka bangga ketika menyebut dirinya atau disebut sebagai muslim moderat.
Allah SWT berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (QS. Ash-Shaff: 7). Semoga ayat ini menjadi pengingat bagi kita agar tidak menjadi korban framing radikalisme ala Barat yang justru menjauhkan kita dari Islam kaffah. Mari berbangga menjadi muslim yang kaffah!
Wallahu ‘alam bishshawab.
[LS/Ah]