Berhentilah Berharap pada Demokrasi
Oleh: Jafisa
LensaMediaNews- Sabtu, 13/07/2019 Kontestan Pilpres Joko Widodo dan Prabowo Subianto melakukan pertemuan spektakuler. Kedua kubu oposisi ini telah bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus Jakarta. .Kemesraan antara keduanya diabadikan dalam jejak digital dilanjut dengan makan sate bersama.
Pasalnya pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka membahas langkah awal keputusan Prabowo apakah tetap menjadi Oposisi atau Rekonsiliasi dalam mengawal langkah memajukan bangsa dan negara (Tribunnews.com, 15/7/2019).
Dua kontestan yang sebelumnya berseteru saling memperebutkan kursi kepemimpinan ini bukanlah sekadar pertemuan biasa ala anak TK yang hanya sekadar jalan dan makan bersama tanpa makna. Lebih dari itu mereka tengah mendiskusikan sesuatu yang lebih penting yakni tentang kemajuan dan masa depan bangsa.
Pertemuan ini juga menimbulkan pro-kontra dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh nasional seperti Ketua Dewan Penasihat Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais dan berbagai organisasi masa. Amin Rais dengan sikap Prabowo yang menemui Jokowi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepadanya.
Ia juga berharap Prabowo akan tetap menjadi Oposisi dalam mengawal Indonesia lima tahun kedepan. Pertemuan ini benar-benar menyakitkan. Ungkapan bernada serupa juga keluar dari kubu Garda PA 212 Novel Bamukmin. Bahkan ia mengatakan akan segera meninggalkan Prabowo jika mantan Danjen tersebut berpindah haluan ke kubu Jokowi.
Kalau sudah begini mau apa? Prabowo yang digadang-gadang sebagai jawara untuk mengalahkan Jokowi yang telah terbukti memberlakukan kebijakan-kebijakan zalim justru telah berpaling. Bukan hanya rakyat biasa yang kecewa dengan sikap hipokrit ini, ulama yang selama ini berdiri dibelakangnya juga dikecewakan.
Kejadian ini semakin menguatkan kita betapa bobroknya sistem yang melahirkan manusia-manusia seperti ini. Bahkan sudah menjadi kelaziman jika fenomena semisal terjadi dalam dunia perpolitikan sistem ini. Ungkapan-ungkapan seperti ‘fenomena kutu loncat dan politik bunglon’ sudah kadung akrab ditelinga masyarakat.
Sebenarnya, Sistem Demokrasi sudah tidak layak lagi dijadikan sistem yang mengatur kehidupan manusia, di negeri asalnya sendiri (Amerika) saja sudah tidak laku dipasarkan, karena sudah terbukti tak mampu mewujudkan kestabilan politik. Sebagaimana telah diungkapkan oleh pejuang Demokrasi di masa lampau bahwa “ Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state).
Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di Dewan Perwakilan Rakyat itu akan mudah berubah menjadi anarkis. Menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan (Aris Totles).
Demokrasi yang bertumpu pada asas pemisahan agama dari kehidupan (fashl-addin ‘anil hayah) menjadikan tolak ukur perbuatan manusia hanya berstandar pada manfaat belaka. Tidak peduli akan sesuatu yang dilarang agama. Yang penting manfaat bisa diperoleh adalah kepuasan tertingginya.
Jika demikian, wajar saja para pemimpin hari ini mempertontonkan sikap hipokrit dan angkuhnya tanpa merasa berdosa. Berpalingnya Kubu Oposisi menjadi Kubu Koalisi sungguh telah menjadi bukti bahwa dialam Demokrasi tidak pernah ada musuh dan teman yang abadi, yang ada hanya kepentigan yang abadi.
Terus berharap pada Demokrasi hanya akan menghabiskan banyak tenaga tanpa menghasilkan apa-apa. Fenomena ini sungguh telah menjadi ibrah untuk semua masyarakat merasa cukup sampai disini untuk sistem Demokrasi.
Jika sudah begini, kini saatnya berhenti berharap pada Demokrasi. Berharaplah pada Khilafah yang sudah jelas-jelas difardlukan Allah ‘azza wa jalla sebagai sistem terbaik untuk seluruh manusia. Yang telah melahirkan para pemimpin yang hanya takut kepada Allah sahaja. Tunggu apalagi, mari bersama umat tegakan Khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[LS/Ry]