Harga Cabai Melambung, Rakyat Kembali Bingung
Oleh: Tawati
(Revowriter Majalengka)
LensaMediaNews- Harga cabai rawit di pasar tradisional meroket. Harganya tembus sampai Rp 80 ribu/kg. Sejumlah pedagang, mulai pedagang gorengan, pedagang sayur hingga pemilik warung makan kelimpungan. Karena dengan melambungnya harga, pemilik warung makan harus mengurangi takaran penggunaan cabai rawit (Radar Cirebon, 09/07/2019).
Setidaknya ada dua sebab kenaikan harga. Pertama, faktor kelangkaan alami yang terjadi karena gagal produksi, kemarau berkepanjangan, dan lain-lain. Sehingga ketika barang berkurang sementara, sedangkan yang membutuhkan barang tersebut banyak, maka otomatis harga akan naik. Kedua, karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syari’ah Islam, terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada penjajahan ekonomi.
Secara individual, ketika harga-harga melambung dengan apapun penyebabnya, seorang muslim tidak boleh terguncang jiwanya. Keyakinannya bahwa Allah-lah yang memberi rezeki dan menentukan segala sesuatu, tidak boleh luntur juga tidak layak mengeluhkan hal ini kepada manusia.
Salamah bin Dinar pernah ditanya: “wahai Abu Hâzim, tidakkah engkau perhatikan bahwa harga-harga melambung tinggi?”
Maka beliau menjawab, “Lalu apa yang membuat engkau galau dengan hal tersebut? Sesungguhnya yang memberi rezeki kepada kita saat harga turun, Dia pula yang memberi rezeki kepada kita saat harga-harga naik.”
Itu dari sisi i’tiqad tentang rezeki. Namun dari sisi hukum syari’at, manusia diwajibkan untuk berusaha mengatasinya, bukan diam berpangku tangan melihat kenaikan harga yang menyulitkan masyarakat. Apalagi menjadikan agama hanya sebagai ‘obat penenang’ yang menina-bobokan umat dari melakukan perubahan.
Islam telah memberikan solusi bagaimana mengatasi kenaikan harga tersebut. Jika melambungnya harga karena faktor alami yang menyebabkan kelangkaan barang, maka disamping itu umat dituntut bersabar. Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplai dari daerah lain. Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.
Akan tetapi jika melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’ah, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Khalifah Umar bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak paham maka mereka dilarang berbisnis. Hal ini karena setiap kemaksiatan, apalagi kemaksiatan terkait ekonomi, itulah yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.
Beginilah Islam mengatasi kenaikan harga, yang tentunya hal tersebut akan bisa terlaksana dengan baik jika ditopang oleh penerapan hukum syari’at dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahua’lam.
[LS/Ah]