Pembiayaan Sistem Pendidikan Islam, Tak Harus Ditopang Utang

Oleh: Arin RM, S. Si
(Freelance Author, Pegiat TSC)

LensaMediaNews-No Free Lunch”, demikian kalimat populer yang digunakan untuk mengistilahkan akan adanya maksud tersembunyi dibalik bantuan yang diberikan seseorang. Ketika kehidupan diukur berdasarkan materi, sulit menemukan keikhlasan dalam bantuan. Sebab orientasi materi khas Kapitalisme telah sukses membuat standar untung rugi dalam berinteraksi . Asas kemanfaatan diagungkan sebagai landasannya. Pun demikian dalam masalah utang. Ada konsekuensi pihak kreditur kepada debitur atas utang yang disepakati.

Terbaru, sebagaimana dikabarkan cnnindonesia.com (28/06/2019), bahwa Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$ 250 juta atau setara Rp3,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS) untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. Berita tersebut menuai beragam pendapat. Mulai dari yang menyebutkan ada alternatif pendanaan lainnya, hingga yang mempertanyakan bagaimana kelak pelunasannya.

Tentu semuanya sangat wajar. Sebab dana pendidikan akan dipakai untuk memajukan kualitas pendidikan. Dan arah pendidikan inilah yang patut dipertanyakan. Apakah nanti akan terus mempertahankan ciri khas madrasah, ataukah mungkin sedikit menyesuaikan selera pemberi pinjaman. Semoga saja tidak. Sebab sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Barat sangat kental dengan Sekularismenya.

Pendidikan haruslah tetap kokoh berkarakter Islam tanpa invansi Sekularisme. Sebab kualitas pendidikan menentukan kualitas generasi masa depan. Oleh karena peran penting ini, di dalam sistem pendidikan Islam, negara Islam menyelenggarakan pendidikan dengan pembiayaan yang ditanggung penuh oleh negara. Semua itu dikarenakan pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat.

Daulah Islam berupaya menyediakan infrastruktur pendidikan terbaik. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai. KH. Hafidz Abdurrahman pernah menuliskan bahwa pendidikan berkualitas kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Hal itu dikarenakan Islam memandang bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR al-Bukhari).

Islam juga menetapkan negara berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan  gaji kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara di seluruh strata pendidikan.  Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap bulan.  Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam Islam diambil dari Baitul Mal. Terdapat dua sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj seperti ghanîmah, khumuûs, jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan dan sebagainya.

Jelaslah bahwa pembiayaan dalam sistem pendidikan Islam tak harus ditopang utang. Semuanya langsung dipegang negara, tidak di kerjasamakan dengan swasta. Hal ini sangat berbeda dengan yang diterapkan kapitalisme saat ini. Kapitalisme memandang pendidikan sebagai salah satu aset mencetak generasi yang akan melanjutkan gerak roda perekonomian. Sehingga arah pendidikan beserta pembiayaan boleh dipegang oleh swasta atau pihak yang berkepentingan dengan kompetensi lulusan yang dimau. Walhasil ada celah pendanaan pendidikan yang dimasuki swasta. Dan pastinya ada konsekuensi yang akan menyertai investasi tersebut.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya pendidikan dunia saat ini meniru kemandirian sistem pendidikan Islam. Sepenuhnya di bawah kendali negara dengan dukungan dana mandiri dalam negeri. Tanpa ditopang utang, niscaya pendidikan dapat diarahkan untuk mencetak aset generasi bangsa yang unggul dan siap memimpin dunia.

Wallahu a’ lam biashowab. 

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis