“Quick Count” dan Tindak Kriminal Demokrasi

 

Oleh: Ns.Sarah Ainun, M.Si

LenSaMediaNews– Puncak pesta demokrasi 17 April 2019 telah berakhir dengan polemik begitu menyedihkan. Harapan besar masyarakat Indonesia pada Pemilu kali ini untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa menegakan hukum yang berdaulat di negara ini berjalan dengan aman, jujur dan adil, dikotori banyaknya kecurangan baik semasa kampannye, saat pencoblosan, hasil Quick count hingga usai pencoblosan.

Kisruh politik demokrasi yang sarat kecurangan seperti adanya politik uang, intimidasi, pemilih ganda, kertas suara yg sudah dicoblos, hilangnya kotak suara, menggiring pemilih memilih salah satu paslon dan seabreg kecurangan lainnya merupakan kejahatan pemilu yang menimbulkan kekecewaan, keresahan dan perpecahan di masyarakat. Masalah itu semua membentuk opini publik yang mempertanyakan netralitas KPU yang cenderung adem dalam menyikapi masalah-masalah dan kecurangan Pemilu.

Belum lagi kesemrawutan masalah distribusi logistik pemilu yang terjadi di 16 kabupaten/kota yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mulai dari kekurangan dan kerusakan surat suara, kerusakan kotak suara, sudah dicoblosnya surat suara (Tirto.id). Tidak terpenuhinya hak konstitusional pemilih baik di dalam maupun di luar negeri. Tragedi gugurnya 119 petugas KPPS dan 548 sakit saat bertugas, yang tersebar di 25 provinsi (Tarbiyah.net, 23/04/2019). Hal tersebut menunjukan gagalnya KPU menjamin pemilu berjalan langsung (Kumparannews, 22/04/2019)

Suhu politik pun semakin memanas pasca Pemilu Pilpres 2019. Polarisasi tajam masyarakat terhadap hasil QC, di mana opini berbasis data-data yang bersumber dari sebagian besar lembaga-lembaga survei yang mengunggulkan Jokowi-Ma’ruf. Sementara data internal BPN Prabowo-Sandi meraup 62% suara menjadi acuan saling kleim dan mendeklarasikan kemenangan.

Perang opini di jejaring media sosial, media massa dan media televisi pun terjadi. Kedua kubu Capres-Cawapres dan para pendukungnya menunjukan adanya ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap proses pemilu dan hasil pemilu yang penuh dengan masalah, kebohongan dan kecurangan yang terjadi dan dipertontonkan secara massif, sistematis dan terorganisir untuk sah dan melegaltimasi hasil QC dan real count.

Sengketa pemilu tersebut memicu reaksi politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang memilih menggerakkan massa atau people power jika ditemukan bukti adanya kecurangan pemilu yang sistimatis dan masif, ketimbang menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak percaya dengan MK (Tempo.co, 22/04/2019)

Tentu saja sumber masalahnya adalah asas demokrasi yang diciptakan pemerintahan kolonial yang menjadikan perkara pemilu agar dapat di terima di negeri-negeri muslim. Dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat bukan pada Syariah, maka hukum demokrasi berada di tangan kapitalis, karena hukum demokrasi itu adalah ciptaan legislatif, sedangkan suara legislatif sangat mudah untuk dibeli.

Realitas karakteristik pemilu dari politik demokrasi dengan jargonnya “kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang secara teoritis berarti kekuasan di tangan rakyat dan kedaulatan hukum di tangan wakil rakyat tidak terbukti menjadikan pemilu sebagai sarana untuk melakukan perubahan (sekalipun hanya untuk mengganti rezim). Namun, hanya sebagai sarana bagi korporasi dan rezim untuk menguasai rakyat yang akan melanggengkan penjajahan sistematikanya dalam segala aspek (politik, ekonomi maupun sosbud).

Dalam sistem Islam pemilihan pemimpin oleh rakyat juga dilakukan, sebagai contoh pada Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun ada perbedaan yang mendasar pada kedaulatan hukumnya antara demokrasi dan Islam. Pada sistem Islam kekuasaan di tangan rakyat (artinya rakyat akan bisa memilih wakilnya) dan kedaulatan di tangan syara’ (artinya sedikit atau banyak orang tidak berhak membuat hukum sebagaimana dalam sistem demokrasi). Sistem ini dicontohkan secara sempurna oleh Khulafaur Rasyidin.

Islam dengan syariahnya membentuk karakter siddiq (jujur), tabligh (adil), fathanah (cerdas) dan amanah (dapat dipercaya) pada setiap individu. Dalam proses pemilu sampai pada terselenggaranya sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah hasil mandat dari seluruh rakyat. Karakter tersebut akan terus terjaga dan melindungi umat dari kekuasaan seorang pemimpin yang tidak punya wewenang menyalahi syariah dan menetapkan hukum rusak seperti kekebalan hukum bagi penguasa.

Hanya dengan sistem Islam yang ber-asaskan kedaulatan di tangan syara’ (hukum Islam) yang mampu menyelesaikan semua permasalahan umat. Termasuk sistem pemilu untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa untuk menegakkan dan memerintah rakyat hanya dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu’alam.

[Lm /Hw /Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis