Perang Berita Bohong “Hoaks”
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
LensaMediaNews – Era media internal menjadi rujukan telah datang. Kemajuan teknologi yang tak mungkin dibendung, baik dari sisi pengguna maupun konten, khususnya dalam ranah berita. Jika kita tidak bijaksana, bisa jadi berita bohong bisa menjadi berita benar. Tergantung siapa yang berkepentingan. Hoaks atau berita bohong menjadi viral di tahun politik ini. Seakan ia adalah komoditas paling jitu untuk menjadi senjata menyerang masing-masing paslon. Makin hari makin blunder. Bak perang siap menghantam. Hingga tak lagi bisa didapat kebenaran yang sesungguhnya, karena masing-masing tim sukses menambahkan data penyanggah agar hoaks itu tak menyentuh kubunya.
Juru kampanye BPN Prabowo-Sandi, Ahmad Riza Patria menanggapi tudingan sumber hoax yang di alamatkan ke kubunya. Riza membenarkan perkataan Rocky Gerung bahwa pabrik hoaks adalah penguasa atau pemerintahan. Karena pemerintah punya kekuasaan membuat regulasi, punya aparat, media dan logistik (RMOL.co,4/2/’19)
Reaksi pemerintah, dalam hal ini Menkopolhukan Wiranto menyebut para penyebar hoax itu sebagai peneror masyarakat sehingga bisa dijerat pula dengan undang-undang terorisme. Masuk ke dalam Undang-Undang ITE, karena terorisme ada fisik dan nonfisik sekaligus menimbulkan ketakutan di masyarakat. Termasuk ketika masyarakat diancam dengan hoax untuk takut datang ke TPS itu sudah bagian dari terorisme (detiknews.com, 21/03/’19).
Menyikapi pernyataan Menko Polhukam Wiranto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritisi tak pantas diucapkan oleh seorang pejabat negara dan beliau meminta untuk dicabut. Karena menurut Fadli tidak ada hubungan sama sekali antara terorisme dan berkata bohong atau hoaks. Masing-masing memiliki definisi yang berbeda ( detiknews.com, 21/3/’19)
Sebenarnya pro dan kontra terhadap Hoaks ini adalah wajar. Bagaimanapun pertarungan baik dan buruk akan terus berlangsung hingga akhir jaman. Namun jika bohong menjadi budaya atau kebiasaan itu artinya sudah menjadi tabiat, dan itu adalah tabiat sistem sekuler . Dimana sekulerisme memaksa penganutnya untuk menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Hal ini dijamin UU dari sejak para pejabat ini mencalonkan diri mereka. Sehingga bisa dikatakan berbohong sudah tersistem secara sempurna. Maka tak ada lagi pilihan, siapapun pelakunya, entah penguasa, pejabat atau rakyat sipil ketika mereka masuk ke dalam sistem ia tak akan selamat dari perbuatan berbohong.
Karena landasan sekulerisme adalah pemisahan agama dari perkara dunia, termasuk politik, maka bohong tidak akan bertentangan dengan agama. Bohong justru menjadi salah satu wasilah atau perantara agar sebuah tujuan bisa tercapai. Kebohongan yang terbesar adalah kemampuan sekulerisme memberikan kesejahteraan yang hakiki atau setidaknya di tahun politik ini mampu memunculkan pemimpin yang cakap dan kapabel membawa perubahan bagi bangsa ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR Al-Bukhari, Kitab Iman, Bab Tanda-tanda Orang Munafik, no. 33 dan Muslim, Kitab Iman, Bab Penjelasan Sifat-Sifat Orang Munafik, no. 59)
Maka, menghilangkan hoaks tidak cukup dengan mengancamnya dengan UU, bahkan menyandingkannya dengan terorisme. Namun harus dimulai dari menciptakan suasana keimanan yang benar, menjadikan ketaatan kepada Allah aza wa jalla sebagai satu-satunya pembuat hukum yang adil. Hingga seseorang tidak mudah menggunakan kebohongan untuk meraih setiap keinginannya. Terlebih jika ia adalah seorang pemimpin. Karena ia lebih takut efek azab Allah yang akan ditimpakan kepada pemimpin yang selama hidupnya membohongi rakyat yang ia pimpin.
Wallahu a’ lam biashowab.
[LS/Nr]