Mimpi Demokrasi Mengatasi Masalah Birahi
Oleh: Dede Yulianti (Pemerhati Masalah Sosial)
LensaMediaNews. Pergaulan bebas di Indonesia kian melampaui batas. Hasil survei KPAI melaporkan 62,7% remaja di Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah. Angka yang tak tercatat tentunya lebih fantastis. Kehamilan tak diinginkan dan aborsi salah satu akibatnya. Sebanyak 58% remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD), melakukan upaya untuk menggugurkan kandungannya. (Mediaindonesia.com 12/10/16). Aksi buang bayi pun dilakukan jika tak diaborsi. Baru-baru ini seorang pelajar di Sumatera Selatan membuang bayinya setelah melahirkan di dalam kamar mandi. (Kompas.com 25/03/2019).
Belum lagi kejahatan seksual yang semakin menakutkan. Mulai dari pelecehan hingga pemerkosaan. Bahkan terjadi pula di kalangan orang terdekat. Terbaru, sebanyak 11 siswa salah satu SMP negeri di Kabupaten Banyumas, Jateng, diduga menjadi korban pencabulan oleh pembina Pramuka di sekolah mereka berinisial RK (32). Pencabulan diduga telah dilakukan sejak 2016. (Kompas.com 30/03/2019). Yang sangat miris dan memprihatinkan, kasus di Lampung. Selama setahun ayah, kakak, adik memperkosa perempuan yang tak lain keluarga kandung mereka sendiri.
Adapula penyimpangan seksual. Suka sesama jenis dan transgender makin menggila. Pedofil pemangsa anak-anak tak kalah mengancam. Bahkan Bali dikenal sebagai surga para pedofil. Sungguh mengerikan. Alhasil penyakit mematikan HIV Aids pun mengintai. Sebanyak 620.000 orang Indonesia terjangkit penyakit tersebut. (Kompas.com 31/12/18).
Kebebasan Akar Persoalan
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah birahi. Di antaranya, penanggulangan penyakit HIV Aids oleh tenaga kesehatan. Hasilnya, jumlah pengidapnya tetap tinggi. Begitupun pelecehan seksual. Dirancanglah undang-undang Penanggulangan Kejahatan Seksual. Namun belum-belum isinya justru menimbulkan kontroversi. Hukuman diberikan hanya jika ada pemaksaan. Maka bila dilakukan dengan kerelaan terbebas dari jerat hukum.
Kegagalan berbagai upaya penanganan ini menunjukkan, ada yang tak beres dalam pengelolaan urusan ‘seksual’ ini. Kebebasan yang menjadi prinsip demokrasi dalam berperilaku merupakan pangkal seluruh persoalan yang membelit. Bagaimana tidak, ketika perilaku seks pranikah dilakukan suka sama suka, tak ada perangkat aturan yang melarang. Bahkan tak tersentuh hukum. Alhasil pelakunya semakin tak terkendali. Padahal jelas sekali akibat buruknya.
Sebaliknya di alam demokrasi kapitalisme, naluri ini harus didorong untuk terus muncul. Bahkan dijadikan sumber penghasil materi yang menggiurkan. Industri yang memanfaatkan daya tarik syahwat terus berproduksi. Seperti iklan di televisi, tayangan hiburan, sinetron, film, konser musik, dan sebagainya. Tentu saja industri ini meraup keuntungan rupiah yang tak sedikit.
Budaya yang mendukung kebebasan seksual pun malah dilestarikan. Sebut saja pacaran dan perayaan “Valentine Days” di berbagai mal, hotel dan tayangan televisi. Bahkan taman-taman yang ada, dijadikan tempat ajang pergaulan bebas. Pornoaksi dan pornografi begitu mudah diakses melalui dunia media sosial oleh siapapun dan kapanpun.
Naluri yang terus menerus dipompa hingga tak terbendung inilah masalahnya. Jika tak menemukan pelampiasan yang sukarela, maka beralih mencari mangsa. Anak-anak, bahkan anak kandung sendiri jadi sasaran. Sungguh mengerikan. Betapa aturan yang didasarkan pada demokrasi kapitalisme hanya akan membawa manusia pada kehancuran yang lebih dalam. Berbagai usaha penanggulangan tak akan membuahkan hasil selama sistem demokrasi kapitalisme yang dijadikan pijakan.
Islam Solusi Nyata
Naluri seksual bukanlah monster penghancur kehidupan manusia. Justru diciptakan sebagai fitrah bagi manusia. Naluri ini hanya boleh muncul untuk satu tujuan, yaitu melestarikan jenis manusia. Satu-satunya jalan yang dibenarkan untuk menyalurkannya hanyalah melalui pernikahan. Begitulah Islam mengatur agar kemuliaan manusia tetap terjaga. Kesucian dan kehormatan wanita terpelihara. Jalur keturunan (nasab) menjadi jelas. Sebab akan mempengaruhi hukum turunannya, yaitu pernafkahan, wali, waris dan sebagainya.
Maka Islam dengan tegas mengharamkan zina. Serta hal-hal yang memicu terbangkitkannya naluri seksual. Cukuplah dengan satu ayat larangan untuk mendekati zina, terselamatkan kehidupan manusia dari efek domino kerusakan sosial. Dengan demikian tak akan ada industri berbasis syahwat. Serta praktik pergaulan laki-laki dan wanita yang bebas tanpa batas.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al Isra: 32)
Begitu besarnya dosa dan efek sosial perbuatan zina, tak main-main Islam menetapkan hukuman bagi pelakunya.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nur: 2)
Siapapun pelakunya baik belum menikah maupun telah menikah mendapatkan hukuman tegas. Apalagi bagi pelaku kejahatan dan penyimpangan seksual. Semuanya dianggap sebagai pelaku kriminal dalam Islam. Tak ada tempat untuk membiarkan kerusakan yang bisa semakin meluas dampaknya.
Jika aturan Islam diterapkan, terbebaslah manusia dari ancaman mengerikan pemangsa syahwat dan segala macam penyakit mematikan. Inilah aturan yang sempurna untuk mengelola syahwat manusia. Begitu luar biasa Allah SWT memelihara keluhuran hidup manusia. Jauh dari kehinaan akibat menuhankan syahwat. Ketentraman, keamanan dan kenyamanan bukan barang langka. Bayangkan, jika seluruh syariat Islam diberlakukan. Kebaikan bukan hanya dirasakan oleh setiap muslim. Bahkan seluruh alam pun akan tersinari rahmat dan kebaikannya.
Wallahu’alam.
[LS/Nr]