Fungsi Strategis Alquran
Oleh: Shafayasmin Salsabila*
Tergolek lemah, tak tersentuh, kusam dan berdebu. Lihatlah kitab suci umat Islam di dalam rak mushola atau lemari kayu. Mengenaskan. Padahal, 23 tahun adalah masa yang Rasulullah Saw lalui hingga sempurnalah dalam 30 juz, 114 surat dan tak kurang dari 6000 ayat.
Ibarat air susu dibalas air tuba. Jerih payah Sang Rasul seakan dimentahkan dengan perlakuan abai terhadap risalahnya. Alquran tak lagi menempati relung kalbu terdalam. Posisinya tergantikan oleh gawai. Bertanyalah sembarang. Mana yang lebih diberatkan. Pergi tanpa gawai atau Alquran. Maka mayoritas akan menjawab, tanpa gawai selayak sayur asam tanpa garam.
Padahal tak elok pula sebenarnya memperbandingkan keduanya. Namun fakta tak bisa dinafikan. Bahkan bagi pengidap nomophobia, hidup tanpa gawai itu mati gaya. Hampa.
Tidakkah hati terpilukan, takut dan ciut nyali, akan aduan Rasulullah Saw terkait pengabaian Alquran oleh kaumnya, dalam satu ayat, “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan””. (TQS. Al Furqon: 30)
Jelas sekali dalam ayat di atas terkandung larangan mengabaikan Alquran, itu artinya ada perintah untuk memperhatikan Alquran. Jangan sampai mengulang sejarah dan menyamai sikap kaum Quraisy saat itu.
Panen Utrujah
Di era Milenia ini, seruan untuk kembali mendekap Alquran kian nyaring. Aktifitas penyadaran masif. Banyak program yang digulirkan untuk menggiatkan semangat cinta Alquran. ODOJ (One Day One Juz) adalah salah satunya. Lalu marak didirikan rumah tahfidz, untuk anak-anak yang disiapkan sebagai generasi penghapal Alquran.
Maka mulailah tangan-tangan suci berbasah wudhu menyibak debu rak dan karat lemari. Alquran dipeluk, sedemikian dibaca dan dijadikan kawan duduk setia. Menjamurlah program acara di televisi seputarnya. Melombakan para penghapal Alquran dalam panggung penuh sinar. Para orang tua bersemangat menargetkan anak-anaknya sebagai utrujah masa kini.
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al Qur’an seperti buah utrujah yang memiliki wangi yang sedap dan rasa yang manis. Sedangkan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an ibarat buah tamar (kurma) yang tidak memiliki bau namun rasanya manis. Adapun perumpamaan seorang munafiq yang membaca Al Qur’an ibarat buah roihanah yang memiliki wangi yang sedap tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafiq yang tidak membaca Al Qur’an ibarat buah handzholah yang tidak memiliki bau dan rasanya pahit”. (HR. Muslim, 1896)
Menjadi sebuah angin segar di tengah kegersangan iman akibat sekulerisme, yakni sebuah paham yang bernafsu untuk mensterilkan agama dari kehidupan. Saat umat ditarik sejauh-jauhnya dari Islam, saat ini kondisinya mulai berbalik. Memantul. Umat sedikit demi sedikit kembali kepada identitasnya. Panen utrujah. Tak kenal abangan (awam) ataupun aktivis dakwah, para orang tua sangat menginginkan anaknya dekat dengan Alquran. Sekolah tahfidz, sekolah berbasis Islam terpadu, dan pesantren, kini menjadi prioritas pilihan.
Singgasana Alquran
Menekuni kembali perjalanan dakwah Rasulullah Saw. Bahwa keberadaannya sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Dan kunci mewujudkannya ada pada risalah yang diemban beliau, yakni Alquran. Penekanannya ada pada aspek penerapannya. Namun, fungsi strategisnya terlupakan, sebatas teoritis tanpa implementasi sempurna. Artinya sebelum semua ayat di dalam Alquran mewujud nyata, maka Alquran belumlah sampai didudukkan pada singgasanaya.
Maka tak cukup meraih, mendekap, membaca dan menghapalkan Alquran. Aktivitas tadabbur, mutlak diperlukan demi mewujudkannya dalam kehidupan. Tadabbur yang dimaknai merenungkan atau menyelami kedalaman makna tiap ayatnya, akan menghantarkan seorang hamba pada pengamalan paripurna. Tanpanya Alquran belum membumi.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Alquran adalah kalamullah. Pesan dari Sang Pencipta terkait cara hidup manusia menjalani kehidupan. Jika saat menggunakan barang-barang elektronik, user membutukan manual book, maka manusia pun sebagai ‘prodak’ (baca: ciptaan) tentu membutuhkan manual book, agar hidupnya tidak rusak atau berakhir sia-sia, penuh sesal. Untuk itulah Alqur’an hadir. “… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. An Nahl: 80)
Apalagi bagi seorang pemimpin dalam Islam. Selain pandai membaca Alquran dengan tartil, wajib memahami isi kandungannya, serta berkomitmen penuh untuk merealisasikannya. Itu berarti, Islam memandang bahwa pemimpin adalah Alquran berjalan. Dimana nafas dalam kebijakannya adalah Alquran, aturan yang dipegangnya pun tak boleh tidak, harus bersumber dari nash (Alquran dan As sunnah).
Bukankah hak Allah atas hamba adalah ditaati segala perintah dan laranganNya? Maka tak ada tawar menawar, tak lagi ada perbincangan. Alquran mutlak dan wajib dibumikan. Dan adakah kiranya pemimpin Muslim yang sedia mewujudkan?
Wallahu a’lam bish-shawab
*Penulis adalah Penggerak Ta’lim MCQ Sahabat Hijrah Indramayu
[Fa]