Komisaris BUMN: Kompetensi atau Balas Budi ?
Oleh: Titin Kartini (Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Viralnya sebuah pemberitaan tentang diangkatnya seorang publik figur menjadi komisaris di sebuah perusahaan plat merah, menjadi pembahasan yang sangat menarik masyarakat. Seperti dilansir dari Detik.com (30/05/2021), Presiden Joko Widodo melalui Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan penunjukkan Abdee Slank sebagai Komisaris Telkom Indonesia merupakan keputusan yang tepat, sesuai dengan rekam jejak Abdee yang profesionalitas. Namun, hal tersebut mendapat kritikan dari Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf, bahwa penempatan Abdee Slank hanya akan merugikan Telkom karna tak sesuai dengan latar belakang profesi yang tidak sesuai.
Politik balas budi bukanlah hal yang baru di sistem demokrasi-kapitalis.Bukan rahasia lagi jika grup band Slank merupakan salah satu pendukung rezim. Telah banyak rekam jejak mereka salah satunya konser salam dua jari.
Selain Abdee Slank ada beberapa orang yang selama ini mendukung rezim mendapatkan jabatan yang mentereng. Di antaranya Mantan Staf Khusus Jokowi bidang ekonomi Ahmad Erani Yustika diangkat sebagai komisaris PT Waskita Karya (Persero). Ada Dini Shanti Purwono diangkat sebagai Komisaris Independen PT Perusahaan Gas Negara (Persero) PGN. Ada Bambang Brodjonegoro, setelah tidak menjadi menteri ia diangkat menjadi petinggi Bukalapak dan Komisaris Utama PT Telkom Indonesia Tbk (Persero). Budiman Sujatmiko dari PDIP diangkat menjadi Komisaris Independen PT Perkebunan Nusantara V ( PTPNV). Said Aqil Ketua Umum Pengurus Nahdatul Ulama (PBNU) diangkat menjadi Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) KAI. Wisnutama diangkat menjadi komisaris perusahaan e-commerce Tokopedia juga menjadi komisaris utama PT Telkom Indonesia Tbk dan Singapure Telecommunicatioans Ltd (SingTel) (Cnnindonesia.com, 29/05/2021).
Daftar tersebut hanya sebagian saja. Pastinya ada lebih banyak lagi yang mendapatkan kursi jabatan empuk untuk orang-orang yang selama ini mendukung rezim.
Ironis. Ketika jabatan penting yang notabenenya untuk mengurus rakyat, namun diserahkan kepada orang yang tidak kompeten di bidangnya. Adanya spekulasi balas budi pun tak terelakkan, bukankah mereka digaji oleh rakyat? Bagaimana mereka akan bekerja jika itu bukan bidang yang selama ini mereka pahami? Tidakkah mereka memikirkan bagaimana nasib rakyat?
Buah dari diterapkannya sistem demokrasi-kapitalis, dimana keuntungan lebih mereka utamakan daripada pengurusan terhadap rakyat. Untung-rugi untuk negara dan rakyat tak masalah, yang terpenting keuntungan untuk diri dan golongannya lebih utama.
Padahal jika kita lihat SDM Indonesia masih banyak rakyat yang lebih kompeten di bidangnya namun tidak dipergunakan. Jabatan penting hanya berputar di lingakaran yang mendekat dan mendukung rezim, alhasil banyak putra-putri bangsa yang akhirnya tersisih dan mengabdikan kemampuan mereka untuk negeri lain.
Jika masih seperti ini jangan harap budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat lenyap dari negeri ini. Kita tentu membutuhkan satu sistem yang dapat mengatur semua ini, sistem yang tidak hanya mementingkan keuntungan diri dan golongan, namun sistem yang dapat mengurus semua demi kepentingan umat. Sistem yang akan menempatkan seseorang karena kemampuannya, sistem yang menghargai ilmu yang dipelajari seseorang demi kemaslahatan umat. Sistem yang akan menghadirkan seorang pemimpin yang kompeten dalam menilai pantas dan tidaknya seseorang menduduki jabatan penting dalam kepengurusan umat, serta mengontrol bagaimana kinerja para pejabat yang terpilih. Sistem yang akan menghadirkan dan mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin umatnya, sistem yang takut akan pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sistem apakah itu?
Tentunya sistem yang berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt. Sistem yang telah terbukti mampu mewujudkan itu semua, telah dicontohkan oleh manusia pilihan-Nya Rasulullah Saw, serta para sahabat dalam meriayah umat, yaitu sistem Khilafah. Satu-satunya sistem yang akan menyelamatkan dan membawa kebahagiaan yang hakiki untuk seluruh manusia.
Wallahu a’lam.
[ah/LM]