Rapuhnya Nurani Pelaku Korupsi

Oleh: Anita Rachman

(Muslimah Peduli Peradaban)

 

Lensa Media News – Anda pernah mencuri, menipu, dan atau berbohong? Jika pernah, apa yang Anda rasakan? Tidak nyaman, gelisah, takut? Jika iya, maka bersyukurlah, karena fitrahnya manusia tunduk pada kebenaran dan menolak keburukan. Begitupun dengan para koruptor. Mereka pun merasakan kegelisahan. Namun, mengapa korupsi makin menjadi? ICW mencatat, sepanjang tahun 2020 setidaknya terdapat 1.218 perkara yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dengan total terdakwa sebanyak 1.298 orang. Total kerugian negara sepanjang tahun 2020 mencapai Rp. 56,7 triliun (kontan.co.id, 22/03/2021).

Laporan Transparency International dalam Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2020 menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat suap dalam layanan publik tertinggi ketiga di Asia setelah India dan Kamboja. Di sektor politik, tingkat politik uang (vote buying) dalam pemilu juga sangat tinggi, yaitu sebesar 26 persen. Hampir dua kali lipat dari rata-rata negara Asia (14 persen) dan menempatkan lembaga politik (parlemen) sebagai lembaga paling korup di Indonesia (kompas.com, 11/02/2021). Sebetulnya apa akar masalah hingga korupsi menggurita? Bagaimana meluruskan kembali nurani para pejabat, hingga korupsi benar-benar tuntas diberantas?

Perilaku mencerminkan kepribadian seseorang yang terbentuk dari pola pikir dan pola sikap. Pola pikir terbaca dari caranya memahami dan memutuskan permasalahan. Sedangkan pola sikap adalah aplikasi perbuatan sesuai dengan yang dipahami.

Dilihat dari cara manusia memahami agama, kepribadian seseorang dapat dikerucutkan ke dalam tiga kategori. Pertama, kepribadian yang terbentuk dari pola pikir dan pola sikap atheis atau anti Tuhan. Otomatis, dalam berpikir tidak pernah melibatkan Tuhan, tapi berdasarkan hawa nafsu. Saat berbuat kebaikan tidak ada motivasi agama karena memang tidak menyakini agama.

Kedua, kepribadian yang terbentuk dari pola pikir sekuler. Mereka percaya adanya Tuhan, kehidupan akhirat dan paham hidup untuk beribadah. Namun, ibadah diartikan sempit yaitu sebatas ibadah ritual. Maka saat salat, zakat, puasa, haji, sedekah, nikah, mati, dan waris menggunakan aturan agama, sementara di luar itu menggunakan aturan manusia.

Saat berekonomi, tak masalah menggunakan riba, toh keuntungan dan kemudahan yang didapat cukup besar. Khamr tidak dilarang, tapi diatur penggunaan dan peredarannya sebab dari segi bisnis sangat menggiurkan. Banyak contoh pengabaian halal haram lainnya, yang penting menguntungkan.

Dalam pemerintahan pun tidak perlu aturan agama karena dianggap bukan bagian dari ibadah. Padahal menjalankannya dengan adil, jujur dan bertanggungjawab merupakan perintah agama. Adil dan jujur dengan tidak korupsi, mengambil yang bukan haknya adalah ibadah. Menjaga amanah atas jabatan yang diemban adalah wujud tanggungjawab dan ibadah yang hukumnya wajib.

Ketiga, kepribadian yang terbentuk dari pola sikap dan pola pikir Islam. Ketika seseorang menjadikan Islam sebagai landasan berpikir, memahami permasalahan kemudian mampu memutuskan mana yang halal dan haram sesuai syariat, maka dia telah memiliki pola pikir Islam. Begitu pula saat setiap perbuatannya sesuai dengan hukum syariat yang telah dia pahami tadi, maka orang tersebut telah memiliki pola sikap Islam.

Pola pikir Islam dan pola sikap Islam inilah yang akan membentuk kepribadian Islam, dimana hal ini akan menjadi benteng kuat dalam menjaga manusia dari berbuat maksiat. Pejabat tidak lagi berani korupsi satu rupiah pun, karena paham konsekuensinya di hadapan Allah. Namun, tentu ini bukanlah hal mudah. Membangun umat agar memiliki kepribadian Islam adalah proyek peradaban yang membutuhkan proses dan perjuangan panjang. Semua pihak harus berkolaborasi, mulai dari keluarga, masyarakat hingga negara, dengan aturan yang satu.

Keluarga menjalankan perannya melahirkan generasi terbaik. Masyarakat dengan perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama yaitu Islam, menjadi kontrol sosial kuat terhadap setiap kemungkaran. Negara sepenuhnya terjun langsung mengurusi rakyat, mendidiknya berdasar syariat Islam dengan mengeluarkan kebijakan berlandaskan hukum Islam.

Sejarah membuktikan sistem Islam berhasil mewujudkan keadilan di segala bidang. Dalam buku ‘Islam Rahmatan Lil’alamin’ karya Ustadz Felix Siauw disebutkan, hanya terjadi 200 kasus pencurian dengan sanksi potong tangan selama kurun waktu 1300 tahun Islam diterapkan. Bandingkan dengan hari ini. Maka sudah saatnya kita kembali kepada Islam, yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tapi juga pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, hingga hubungan luar negeri. Semua pasti benar, pasti membawa kebaikan. Adakah yang berani meragukan yang datangnya dari Allah SWT.?

 

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis