Benci Tapi Cinta : Mungkinkah Produk Asing Ditinggalkan?

Oleh: Alya Amaliah
(Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin) 

 

Lensa Media News – “Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia,” kata Bapak Jokowi saat membuka rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara (Kompas.com, 5/3/2021).

Tentu ujaran tersebut menjadi angin segar bagi produsen produk-produk lokal, para UMKM yang sudah lama stagnan karena derasnya persaingan produk asing yang masuk. Tapi, tak hanya sekadar pernyataan cinta yang diharapkan oleh penggerak ekonomi mikro tersebut, tindakan untuk memupuk keberadaannya adalah hal yang lebih utama.

Sayangnya, berbagai kebijakan yang terwujud hari ini jauh dari yang katanya sedang mencinta. Apakah mencinta membiarkan pihak lain masuk dan mengobral harga lahan yang lebih murah dan perizinan yang bisa diindahkan, sedangkan di sisi para UMKM masih bergelut memikirkan biaya lahan selangit yang ingin ditempatinya. Memotong pajak atau bahkan meniadakan pajak barang impor, tapi malah mengeruk pajak dari penggunaan kantong plastik saat berbelanja di warung. Meminta masuknya tenaga kerja asing agar tak berbelit-belit, tapi sekian tumpukan dokumen agar bisa daftar jadi pegawai sipil. Arghh, kenapa yang katanya dibenci terasa disayang ?

Membenci produk asing, rasa-rasanya terdengar khianat jika melihat wujudnya beredar di sekeliling kita hari ini. Barang eletronik misalnya, “Sebanyak 60 persen barang elektronika masih merupakan barang impor,” Kata Rahmat Gobel Wakil DPR. Bahkan, kata dia, 70 persen barang elektronik merupakan barang ilegal (Tempo.co/6/03/2021).

Fakta yang tambah membuat miris, juga terlihat dari produk hasil tani yang kini masih di impor dan jumlah yang sangat fantastis. Berdasarkan data Januari-Desember 2020, total volume impor gandum Indonesia mencapai 10.299.699.181 kg. Indonesia juga mengimpor gula. Mayoritas diimpor dari Thailand dengan volumenya mencapai 5.539.678.553 kg. Gula dari Thailand menguasai 36,59 persen impor gula nasional.

Belum mampunya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat memang menjadi penawar akan adiktifnya barang asing yang masuk. Tak perlu lagi pikirkan biaya produksi, alat produksi, kurangnya kemampuan SDM dan faktor lainnya, toh sudah banyak negara importir mengantri menjadi suplier negeri yang bak surga ini.

Maka tak heran, keadaan negeri ini mudah saja digoncang oleh pihak luar. Bisa dilihat misalnya saat awal pandemi, mendadak kebutuhan pokok, seperti harga bawang putih melonjak seketika kegiatan ekspor-impor dihentikan. Bukan tanpa sebab, tak maksimalnya usaha untuk produksi sendiri kebutuhan masyarakat, membuka lebar-lebar keran impor, para investor digelarkan karpet merah, menambah runyam kehidupan para UMKM. Walau yang katanya selalu mengobral ingin hidupkan UMKM, nyatanya main belakang suburkan para asing dan aseng.

Miris memang. Negeri yang katanya “batu saja jadi tanaman”, tapi tuk penuhi kebutuhan beras saja mesti harapkan negeri orang. Padahal dalam Islam telah dijelaskan tentang pemenuhan kebutuhan ummat sesuai syariat-Nya. Negara dalam Islam benar-benar akan berupaya memaksimalkan semua potensi sumber daya yang luar biasa Allah karuniakan atas prinsip kedaulatan dan kemandirian negara sebagaimana yang juga Allah perintahkan. Islam bahkan melarang negara memberi celah sedikit pun kepada kafir untuk menguasai orang-orang mukmin dibidang apapun.
Allah Swt. berfirman, yang artinya
Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ 4: 141).

Berbeda, para penguasa negeri muslim hari ini, justru jatuh dalam rayuan gombal negara-negara penjajah, yang sudah lama mengkavling tanah-tanah mereka, kekayaan, dan penduduknya sebagai objek eksploitasi dan sasaran kerakusan mereka akan dunia.

Sungguh ketiadaan paradigma berpikir Islam ideologis terbukti telah membawa berbagai kemudaratan. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kemuliaan negeri muslim terbesar ini adalah dengan menghadirkan kembali jati diri Islam sebagai sebuah sistem kehidupan alias ideologi dan mencampakkan semua aturan yang bertentangan dengan Islam. Terutama sistem sekuler kapitalis neoliberal yang hari ini tegak dan dijaga oleh para penguasa yang loyal pada negara-negara penjajah.

Wallaahu a’lam bi ash-shawwab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis