Simalakama Sekolah Offline
Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
(Muslimah Penulis Peradaban)
Lensa Media News – Bagai makan buah simalakama. Mungkin inilah yang bisa menggambarkan kondisi dunia pendidikan di negeri kita saat ini. Di satu sisi orang tua senang ketika mendapat kabar bahwa sekolah akan kembali tatap muka. Namun, disisi lain tak bisa dinafikan, ada rasa khawatir terhadap keamanan dan kesehatan anak-anaknya.
Dilansir dari cnnindonesia.com 20 November 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021. Keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.
Adapun alasan pemerintah mengizinkan sekolah offline yakni untuk meminimalisir dampak negatif akibat terlalu lamanya proses pembelajaran jarak jauh seperti resiko putus sekolah, psikososial, stres, dan kekerasan rumah tangga (nasional.kontan.co.id, 21/11/2020).
Sekolah offline memang menjadi sebuah kebutuhan terlebih bagi daerah-daerah yang minim sarana dan prasarana dalam menunjang proses pembelajaran jarak jauh. Bahkan ada yang putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua bekerja. Hanya saja, seperti yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa masih banyak sekolah yang belum siap secara protokol kesehatan dalam penerapan kembali sekolah offline.
Begitu pun pakar epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyarankan seharusnya pemerintah terlebih dulu menyelesaikan masalah pandemi meliputi adanya penurunan kasus dalam dua pekan berturut-turut, tren penurunan kasus harus diikuti dengan penurunan angka positivity rate, yaitu di bawah 5%, dan terakhir tingkat kematian akibat Covid-19 harus menyentuh satu digit tiap hari (cnnindonesia.com, 22/11/2020). Ketika ketiga poin tersebut sudah diatasi, barulah bisa melakukan sekolah offline.
Benar, meski banyak kendala yang dirasakan ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), namun tidak mudah diputuskan begitu saja untuk kembali melakukan aktivitas belajar mengajar secara tatap muka di tengah wabah corona yang masih menghantui negeri ini. Setiap harinya terus bertambah, sampai saat ini saja (Sabtu, 5/12) kasus positif virus corona (Covid-19) sekitar 6.027. Meningkatnya kasus tersebut membuat total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 569.707 orang (health.detik.com, 5/12/2020).
Inilah yang menjadi titik dilema para orang tua siswa dan guru. Amankah? Sudahkah pihak sekolah mempersiapkannya dengan optimal? Dan mampukah anak-anak melakukan protokol kesehatan dengan ketat? Jangan sampai hanya karena ingin meminimalisir dampak negatif sekolah online malah menambah klaster baru dalam penyebaran virus ini.
Terkait pendidikan, tentu pendidikan ini sangatlah penting karena dapat meningkatkan kualitas SDM. Dan sejatinya tatap muka antara siswa dan pendidik dalam mentransfer ilmu itu akan lebih efektif dibandingkan secara online. Namun, kesehatan pun tetap harus diperhatikan. Ketika badan dan pikiran sehat, maka bisa menjamin generasi memiliki kemampuan menyerap ilmu dengan baik.
Oleh karena itu, keputusan untuk sekolah offline harus ditinjau kembali dengan diiringi usaha memutus rantai penyebaran virus yang optimal. Beginilah ketika negara berpijak pada sistem sekularisme. Kebijakan yang dibuat tidak benar-benar mengurusi rakyatnya dan malah membuat dilema.
Berbeda dengan negara yang berpijak pada sistem Islam. Kebijakannya akan merangkul segala urusan rakyatnya berikut memenuhi kebutuhannya. Dalam Islam, keselamatan jiwa dan kesehatan manusia harus diutamakan dibandingkan yang lainnya.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “ Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi). Sehingga ketika pandemi terjadi seperti saat ini dan usaha penekanan laju penyebaran virus masih diupayakan maka terkait pendidikan akan tetap dilangsungkan secara online.
Mengenai materi yang disampaikan, tentu tidak akan membuat siswa dan orang tua menjadi stres. Kualitas pendidikan tetap diusahakan sama seperti ketika belajar online. Negara akan menjamin sarana dan prasarana yang menunjang keberlangsungan belajar online seperti gadget yang berkualitas dan kuota gratis bagi siswa maupun gurunya. Serta akan dibuatkan jaringan internet untuk daerah yang pelosok agar tetap mudah dalam mengaksesnya.
Di samping itu, kebutuhan pokok akan dipenuhi oleh negara sehingga anak-anak akan tetap fokus untuk belajar tanpa terganggu harus membantu orang tuanya dalam mencari biaya hidup.
Dengan demikian hanya Islam yang memiliki solusi yang menyeluruh. Nyawa rakyat terjaga, kebutuhan terpenuhi, serta sektor pendidikan tetap berjalan dengan baik dan efektif.
Wallahu a’lam bishshowab
[LM]