Penembak Satgas Covid-19, Kelompok Kriminal atau Teroris Separatis?

Oleh: dr.Toreni Yurista

 

Lensa Media News – Bumi Cenderawasih kembali berdarah. Kelompok kriminal bersenjata (KKB)  telah menembak dua tenaga medis satuan gugus tugas Covid-19 yang mengantarkan obat di Distrik Wandai, Intan Jaya. Satu orang meninggal dunia, sementara seorang lagi dalam keadaan kritis (kompas.com, 23/05/2020).

Bukan kali ini saja KKB bertindak keji terhadap tenaga medis. Pada Oktober 2018, KKB menyandera 15 orang guru dan tenaga medis di Distrik Mapenduma. Seorang tenaga medis bahkan diperkosa (kompas.com, 21/03 2019).

Kekejaman KKB terhadap penduduk sipil semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tidak segan menyasar wanita. Terjadi pada seorang wanita bernama Martha Palin yang dibunuh dalam penyerangan di Kenyam serta kopilot Irene Nur Fadila yang ditembak saat menerbangkan maskapai sipil Dimonim Air (kompas.com, 21/03 2019).

 

Kelompok Kriminal atau Teroris Separatis?

Alih-alih disebut kelompok kriminal, kelompok bersenjata di Papua lebih tepat disebut teroris. UU Nomor 5 /2018 telah mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Motif politik dari kelompok teror ini sangat jelas terlihat. Harits Abu Ulya dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) sejak tahun 2017 telah mengingatkan bahwa KKB Papua membawa dimensi politis yang berpotensi melahirkan separatisme (kompas.com, 23/11/2017). Dengan kata lain, tujuan kelompok ini bukan sekadar menuntut pemerataan dan keadilan melainkan juga menginginkan pemisahan Papua dari Indonesia.

Terlebih sejak tahun 1965 kelompok ini telah aktif menggalang dukungan internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar merelakan Papua keluar dari pangkuan ibu pertiwi. Benny Wenda, pentolan Organisasi Papua Merdeka yang kini mendirikan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), beberapa kali melakukan kampanye yang disebut ‘Freedom Tour (Tur Kebebasan)’ di Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia, dan Inggris (3news.co.nz, 08/01 2013).

Semestinya, KKB Papua ditangani dengan pendekatan antiterorisme sebagaimana yang termaktub di dalam UU Nomor 5/2018. Namun sayangnya, pemerintah begitu enggan menerjunkan Densus 88. UU Antiterorisme rupanya hanya tajam kepada umat muslim yang diduga melakukan teror tetapi tumpul terhadap pelaku teror yang sesungguhnya.

Memang begitulah pelaksanaan undang-undang di sistem sekuler. Meski undang-undangnya ada, pelaksanaannya bisa dipermainkan sesuai kepentingan penguasa. Tak jauh berbeda dengan UU Nomor 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan dimana penguasa meneken pasal karantina wilayah tetapi lebih memilih memberlakukan darurat sipil dan pembatasan sosial berskala besar.

 

Khilafah Islam Menolak Separatisme 

Dalam perspektif Khilafah Islam, tindakan separatisme terkategori bughat. Secara syar’i, yang disebut orang yang melakukan bughât adalah orang-orang yang keluar menentang daulah, dan mereka memiliki kekuatan. Artinya, mereka adalah orang yang membangkang dan tidak mau taat pada daulah, menghunus senjata melawan daulah dan mengumumkan perang terhadap daulah (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqubât).

Pelaku bughat harus diajak kembali taat kepada negara. Khalifah mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari khilafah.  Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan. Jika mereka menilai apa yang dilakukan oleh khalifah menyalahi kebenaran atau syariah, padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan  khalifah dengan syariah serta harus ditampakkan kebenarannya. 

Semua pembicaraan damai itu harus dilakukan sampai taraf maksimal. Jika pelaku bughât tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat. Khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang.  Kekuatan itu bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah), kekuatan (al-quwwah), serta pemimpin yang ditaati.

Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta’dîb) bukan perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka juga bukan merupakan jihad. Jadi harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi. Mereka yang tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai binaan. Wanita dan anak-anak mereka yang turut di medan perang tidak boleh dijadikan budak.

Demikianlah, syariah Islam menuntut khilafah menangani pelaku bughat dengan kasih sayang dan ketegasan sekaligus. Keseriusan khalifah menghadapi bughat dilandasi oleh kesadaran hubungannya dengan Allah dan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat,  dua hal yang sangat sulit kita temui di sistem sekuler saat ini. [] 

 

[ln/LM] 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis