Guru Honorer: Kehadiran Pol, Gaji Nol
Oleh: Tri Nuryani
(Aktivis Dakwah & Penggerak Remaja)
LensaMediaNews- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) setuju untuk menghapus tenaga kerja honorer, pegawai tidak tetap serta status kepegawaian lainnya dari tubuh pemerintahan. Hal ini disampaikan melalui rapat kerja persiapan pelaksanaan seleksi CPNS periode 2019-2020 di Kompleks Gedung DPR MPR, Jakarta (Liputan 6.com, 20/1/2020).
Menteri PAN RB Tjahjo Kumolo menjelaskan, agar berhasil dalam mewujudkan visi Indonesia Maju, diperlukan restrukturisasi komposisi Aparatur Sipil Negara (ASN), salah satunya dengan penghapusan tenaga honorer. Tujuannya untuk didominasi jabatan fungsional teknis berkeahlian sebagaimana visi Indonesia Maju. “Saat ini jumlah PNS Indonesia mencapai 4.286.918 orang, dan sekitar 70 persen berada di Pemerintah Daerah (Pemda). Namun demikian porsinya masih belum berimbang karena didominasi oleh jabatan pelaksana yang bersifat administratif sebanyak 1,6 juta,” ujar Tjahjo.
Pada kurun waktu 2005 hingga 2014, pemerintah telah mengangkat 860.220 Tenaga Honorer Kategori I (THK I) dan 209.872 Tenaga Honorer Kategori II (THK II). Dengan begitu, maka total tenaga honorer yang telah diangkat sebanyak 1.070.092 orang. Sehingga, jumlah keseluruhan dinilai tidak imbang.
Gaji Tak Layak
Salah satu permasalahan yang terjadi pada guru honorer adalah keengganan pemerintah daerah (Pemda) menanggung gaji tenaga honorer usai diangkat menjadi PNS. Nasib tragis yang dialami tenaga honorer sejatinya kian membuktikan kegagalan negara dalam mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja.
Awalnya rekrutmen tenaga honorer merupakan langkah negara untuk mengurangi jumlah pengangguran sekaligus mendapatkan tenaga kerja murah. Mereka yang dibidik umumnya merupakan lulusan baru dan belum berpengalaman kerja. Tergiur iming-iming janji direkrut sebagai ASN membuat mereka pun rela mengabdi, meski gaji yang didapat minim.
Inilah konsekuensinya jika negara masih terus mempertahankan sistem kapitalisme, yang menganggap rakyat hanya sebagai beban. Dan sistem ini juga yang telah mencetak pemimpin-pemimpin yang senantiasa haus akan kekuasaan dan hanya berorientasi materi. Bahkan tidak mendahulukan kepentingan umatnya selain hanya hitungan untung rugi.
Guru dalam Sistem Islam
Jika kita menelaah penerapan sistem pendidikan dalam Islam, sungguh sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Berawal dari paradigma mendasar bahwa pendidikan adalah salah satu hak warga negara yang harus dijamin oleh negara, maka Daulah Khilafah akan menjamin kebutuhan masyarakatnya.
Jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara itu diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya, tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai tersebut. Dan semua berstatus pegawai negeri yang berhak mendapatkan gaji dari Baitul Maal.
Seluruh pemasukan Negara Khilafah dalam Baitul Maal baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.
Mekanisme inilah yang membuat negara Islam mampu mencukupi ketersediaan tenaga guru sekaligus menjamin kesejahteraan mereka sebagai abdi negara. Sehingga tidak perlu ada guru honorer, karena semua guru dijamin oleh negara.
Wallahu a’lam bish Showab.
[ry/LM]