Ilusi Pengentasan Kemiskinan dalam Kapitalisme
Oleh : Sarinah A
(Alumni Revowriter 7, Banjarmasin)
LensaMediaNews- Bank dunia merilis laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada akhir pekan lalu (30/1). Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk.
Rerata pertumbuhan ekonomi pun diprediksi 5,6% per tahun selama 50 tahun ke depan. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya diperkirakan tumbuh enam kali lipat menjadi hampir US$ 4 ribu. Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil, mereka rentan kembali miskin (KATADATA.CO.ID, 2/2/2020).
Kemiskinan merupakan fenomena sosial sekaligus persoalan besar yang ada di negeri ini. Berbagai kebijakan hadir untuk menanggulanggi fenomena ini. Penurunan angka kemiskinan yang terjadi pada September tahun kemarin, hanya permainan angka, yaitu indikator kemiskinan. Pada kenyataannya, kemiskinan masih nampak pada negeri ini.
Pengentasan kemiskinan pada sistem kapitalisme saat ini adalah sesuatu yang mustahil. Karena pada dasarnya sistem inilah yang menciptakan kesenjangan yang signifikan antara si kaya dan si miskin dan sumber kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang tertentu saja. Maka sangat mustahil bila kemiskinan di negeri ini dapat diatasi dengan sistem saat ini.
Berbeda dengan halnya sistem pemerintahan Islam. Kita kembali mengingat sejarah keemasan dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana pada masa itu, tidak ada kemiskinan yang terjadi pada masyarakat, bahkan seluruh masyarakat yang dipimpin oleh beliau tidak lagi masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat, ini menandakan bahwa seluruh masyarakatnya dalam kategori mampu dari segi ekonomi.
Beginilah Islam mengatur semuanya dengan indah dan penuh maslahat. Dalam pendistribusian kekayaan pada masyarakat pun diatur, agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Bahkan negara juga menafkahi warganya, apabila tak ada wali , maka disini wajibnya negara untuk memenuhi kebutuhannya. Perempuan pun juga tidak diwajibkan untuk bekerja, bahkan negara memberikan lapangan pekerjaan yang luas untuk para lelakinya, karena untuk memenuhi kewajiban seorang laki-laki terhadap keluarganya adalah untuk mencari nafkah yang halal.
Sangat jelas sekali perbedaannya, jika mengetahui ini, maka sudah seharusnya kita sadar untuk kembali kepada sistem yang haq, sistem yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan penuh ketaatan dan ketundukan kita kepada Allah yang menciptakan kita, maka tak sepatutnya kita mencela sistem ini dan memberikan stigma negatif.
Karena ini, bentuk pembangkangan yang nyata dan sungguh azab-Nya sangat pedih. Maka tunggu apalagi, umat harus cerdas kemana harus memilih jalan hidupnya, apakah mau diatur dengan aturan buatan manusia yang lalai atau mau diatur dengan aturan yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, yang insyaAllah keberkahan dan rahmat-Nya yang didapatkan.
Wallahu’alam Bish Showwab.
[ry/LM]