Fenomena Pengemis yang Tak Kunjung Habis
Oleh: Umi Diwanti
(Guru, Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro)
LensaMediaNews – Masalah maraknya pengemis telah lama dicari solusinya. Sayangnya hingga detik ini masih bertebaran di mana-mana. Terlebih bila Ramadan tiba atau jelang hari raya. Biasanya jumlah mereka kerap bertambah, entah darimana saja datangnya. Kebanyakan mereka mengalasankan masalah ekonomi.
Seperti halnya Aminah, seorang ibu berusia 45 tahun ini mengaku penghasilan suaminya tidak cukup. Hanya sebagai kuli di pasar dan harus menghidupi empat orang anak. Terpaksa ia meminta-minta dengan membawa serta balitanya.
Demikian juga Andi, pengemis anak yang mengaku putus sekolah dan menjadi pengemis karena orang tuanya bekerja serabutan. Tidak tercukupi kebutuhannya, ia pun memilih turun ke jalan (jejakrekam.com, 28/1/2020).
Hanya saja ada fakta lain berbicara. Saat terjaring penertiban gepeng, petugas kadang menemukan pengemis yang memiliki simpanan uang banyak. Bahkan pernah viral seorang pengemis yang ternyata punya mobil mewah. Artinya pengemis tidak hanya disebabkan krisis ekonomi tapi juga krisis mental.
Siapa yang tidak tergiur dengan penghasilan puluhan bahkan ratusan ribu per hari tanpa usaha keras dan tanpa modal apa-apa. Sementara yang bekerja seharian, menguras tenaga dan pikiran kadang gajinya tak seberapa.
Selain itu langkanya lapangan kerja dan minimnya peluang usaha turut mempengaruhi. Jadilah pengemis ini sebuah profesi yang semakin digemari.
Mudah. Hanya memanfaatkn belas kasih orang. Semakin pandai membuat iba, semakin banyak pendapatannya. Itulah sebabnya membawa balita apalagi bayi kerap dijadikan senjata. Konon sampai memunculkan bisnis baru. Sewa menyewa bayi atau balita. Sungguh kondisi yang semakin memprihatinkan.
Memang sudah beberapa cara dilakukan untuk menghentikan. Penertiban, pembinaan, hingga pelarangan memberikan uang pada pengemis. Adapun untuk mengatasi kemiskinannya berbagai kartu sakti pun di keluarkan. Faktanya pengemis masih banyak berkeliaran.
Dari latar belakang munculnya pengemis, sebenarnya hanya dua solusinya. Pertama, negara harus mampu memenuhi semua kebutuhan rakyat individu per individu. Baik sandang, pangan, papan maupun kesehatan, pendidik dan keamanan. Intinya buat rakyat serba berkecukupan.
Kedua, negara harus mampu memenuhi dada-dada rakyatnya dengan nilai-nilai agama (Islam). Tentang apa tujuan hidup yang sebenarnya serta bagaimana hinanya orang-orang yang suka meminta-minta di hadapan Allah.
Caranya tidak lain dengan membuka lapangan kerja dan peluang usaha seluas-luasnya untuk para laki-laki. Lalu pastikan distribusi kekayaan tidak hanya menumpuk di kalangan orang kaya.
Semua kebutuhan dasar kolektif harus disediakan untuk seluruh warga tanpa biaya. Dan untuk sandang, pangan, papan bagi keluarga yang kepala keluarganya uzur akan dipenuhi oleh negara berdasar kada kecukupan masing-masing.
Di sisi lain sistem pendidikan harus mengutamakan pemahaman agama. Utama dan pertama tentang apa tujuan hidup manusia sebenarnya. Bukan harta tapi rida Allah. Juga pemahaman bahwa posisi peminta-minta di hadapan Allah swt sangatlah hina.
” Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain (mengemis) sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Apalagi yang meminta-minta bukan karena kepepet ekonomi. Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa meminta-minta harta orang untuk memperkaya diri, sebenarnya ia hanyalah meminta bara api. Oleh karenanya, silahkan meminta sedikit atau banyak.” (HR. Muslim)
Jika negara melakukan dua poin di atas niscaya pengemis akan berkurang drastis bahkan tak mustahil bisa habis. Namun sayang, justru dua hal itulah yang belum bisa direalisaskian oleh negara kita saat ini.
Bagaimana negara mampu memberikan lapangan kerja dan jaminan kebutuhan dasar jika aset di negeri ini nyaris semuanya dikelola swasta. Bahkan banyaknya hutang menekan penguasa untuk menyetujui masuknya investor sepaket dengan TKA (Tenaga Kerja Asing). Hasilnya lapangan kerja bagi warga semakin langka.
Hal ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Melainkan sebuah konsekuensi dari sistem yang diadopsi. Yakni kapitalis, sistem ekonomi yang perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Sehingga peran negara harus sekecil-kecilnya.
Demikian pula mustahil bisa menciptakan suasana keimanan dan ketakwaan yang baik. Dalam kehidupan sekuler kapitalis semua boleh, asal jadi materi. Media dan pola pendidikan pun juga menyuburkan gaya hidup materialistis. Seolah materilah penentu kebahagiaan dan kemuliaan. Mendorong manusia melakuakan apa saja demi bisa mendapatkan apa saja.
Singkat cerita, masalah pengemis yang tak kunjung habis ini hanya akan selesai bila mau membuang jauh pandangan hidup kapitalis. Lalu berbenah dengan kembali pada aturan Allah secara kaffah.
Niscaya lapangan kerja bukan lagi perkara susah. Ketakwaan pun otomatis menjadi bi’ah (kebiasaan). Hingga berkah dari langit dan bumi pun senantiasa tercurah. Jika semua kebutuhan telah terpenuhi dengan cara mulia, masihkah ada yang mau meminta-minta?
“ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” ( *Qs. Al-A’raf: 96*).
Wallahu a’ lam bish-showab.
[LM]