#IndonesiaGelap, menuju Sebuah Kehancuran dari Sistem Kapitalis
Oleh : Zhiya Kelana, S.Kom
Lensamedianews.com__ #IndonesiaGelap menjadi trending topik di X. Hal ini bisa muncul karena banyaknya permasalahan yang terjadi di negeri ini. Belum selesai satu kasus, muncul kasus yang lain. Pada akhirnya menjadikan harapan di negeri ini, sirna. Semakin gelap tanpa cahaya, dengan kebijakan yang terus menyudutkan rakyat. Pemerintah berdalih untuk menyelamatkan negeri ini dengan cara menghemat berbagai anggaran dengan memangkasnya dari segala sisi.
Total nilai penghematan yang direncanakan mencapai Rp750 triliun. Tahap pertama saat ini tengah berlangsung dengan nilai sebesar Rp306,69 triliun. Kedua, rencana penghematan belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang kurang efisien ditargetkan mencapai Rp308 triliun. Sedangkan untuk tahap ketiga, penghematan akan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan dividen yang ditargetkan mencapai Rp300 triliun. Langkah ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang berfokus pada efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tahun anggaran 2025.
Rp58 triliun dari penghematan ini akan dikembalikan kepada K/L, sehingga penghematan bersihnya menjadi Rp 250 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp200 triliun akan digunakan untuk kepentingan negara dan Rp100 triliun akan dikembalikan kepada BUMN. Sebagian dari dana yang berhasil dihemat, sekitar Rp24 miliar dolar AS, akan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). (Kompas.com, 16-02-2025)
Efisiensi banyak menyasar alokasi anggaran untuk rakyat, baik melalui program kegiatan, maupun subsidi atau bantuan langsung. Efisiensi juga terjadi pada pendidikan tinggi dan dana riset. Efisiensi anggaran dilakukan untuk menutup kebutuhan anggaran beberapa program, khususnya MBG. Namun realitanya MBG banyak masalah, maka tujuan efisiensi pun berpotensi tidak menyelesaikan masalah.
Efisiensi nampak tanpa pemikiran yang matang, karena faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun malah tidak dipangkas, misalnya anggaran Kemenhan untuk Alutsista. Makin nyata yang dibela bukan kepentingan rakyat, namun pihak yang punya kepentingan, bahkan makin menguatkan korporatokrasi. Ini sungguh berbeda dengan Islam seperti hadist berikut ini:
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangny, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang mujtahid mutlak abad ini dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah Jilid 2 secara gamblang menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam pandangan syariat adalah pengurus, alias pelayan sekaligus pelindung umat (MuslimahNews, 19-02-2025)
Dalam Islam, penguasa adalah raa’in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok. Prinsip kedaulatan di tangan syara menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syara, tidak berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan. Dalam Islam, sumber anggaran banyak dan beragam, tidak tergantung pada utang dan pajak. Alokasi anggaran akan dilaksanakan penuh tanggung jawab dengan perencanaan yang matang. Karena Islam menetapkan jabatan adalah amanah. Wallahu’alam