Blunder 4 Menteri, Sinyal Kerapuhan Kabinet Gemoy
Oleh : Diana Kamila
(Mahasiswi STEI Hamfara)
Lensa Media News – Dikutip dari laman Bisnis.com, Kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran resmi dilantik pada hari Senin, 21 Oktober 2024 dengan jumlah 53 menteri dan kepala badan setingkat menteri. Namun, belum genap sepekan setelah pelantikan, beberapa menteri diantaranya telah melakukan blunder, baik secara lisan maupun tindakan yang cukup kontroversial di tengah masyarakat. Misalnya dalam beberapa hari terakhir, publik dibuat gaduh dengan adanya pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Kunham) Yusril Ihza Mahendra terkait dengan peristiwa 98 bukan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Tidak hanya itu, pernyataan lain yang cukup menyita perhatian publik ialah pernyataan dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai. Dimana ia menyebut anggaran Rp60 miliar tidak cukup, seharusnya pemerintahan memberikan anggaran kepada Kementerian HAM sejumlah Rp20 triliun. Publik juga dibuat ramai dengan beredarnya surat berkop Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal Nomor : 19/UMM.02.03/X/12/2024 untuk tujuan pribadi serta 8 kursi menteri dan 3 wakil menteri yang didapatkan oleh partai Golkar akibat permainan politik yang dilakukan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Kerapuhan Kabinet Gemoy
Kabinet Prabowo era ini menjadi kabinet tergemuk sejak orde baru hingga reformasi. Tercatat ada 48 menteri negara dan sejumlah kepala lembaga Kabinet Merah Putih serta ada 56 wakil menteri yang dilantik. Hal ini adalah impas dari revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada September lalu dan memungkinkan kementerian menjadi tidak terbatas.
Tentu perubahan ini membawa akibat yang sangat besar bagi nasib bangsa Indonesia. Bayangkan saja, jumlah kabinet yang begitu “gemuk” tentu sarat akan kepentingan politik. Bukannya semakin efisien yang terjadi justru memperpanjang dan memperumit alur birokrasi, serta memicu tumpang tindih kewenangan. Belum lagi implikasinya terhadap anggaran yang membengkak.
Di lain sisi, masyarakat Indonesia bisa melihat indikasi kepentingan pejabat yang terlibat di dalamnya. Terutama setelah menteri “blunder” ini muncul kehadapan publik. Pasalnya, menteri dalam UUD 1945 Bab V tentang Kementerian Negara Pasal 17 tidak lain sebagai pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya. Mereka juga secara tidak langsung menjadi pelayan umat. Sudah seharusnya mereka bekerja semata-mata untuk kemaslahatan umat. Bahkan setiap kebijakan yang dibuat ataupun anggaran dana yang digelontorkan hanya untuk kepentingan umat. Namun kedudukan ini justru dijadikan alat untuk kepentingan pragmatis personal. Mulai dari penggunaan anggaran dana untuk kepentingan pribadi hingga mengubah Undang-Undang sesuka hati.
Mungkinkah ada politik balas budi atau politik transaksional? Tentu politik transaksional sudah menjadi wajah sistem perpolitikan di negara kapitalis sekuler. hal ini terjadi karena ongkos politik yang besar mengharuskan adanya kontrak antara partai, calon presiden, dan pemberi modal. Konsekuensinya, setelah akad dan menang maka harus ada pembagian keuntungan, baik dari proyek-proyek pemerintah, jabatan, kebijakan dan bantuan untuk bisnis-bisnis para pemberi modal. Walhasil, terjadilah bagi-bagi kekuasaan.
Pejabat dalam Islam
Sistem sekuler demokrasi meniscayakan hukum dibuat oleh manusia. Halal haram tidak menjadi standar penilaian, melainkan semua dilihat dari segi manfaat. Walhasil, hukum akan sangat mudah berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya.
Sedangkan kepemimpinan dalam Islam bertujuan untuk memenuhi kemaslahatan umat serta melaksanakan hukum syara. Maka penting bagi umat Islam memilih pemimpin yang bertakwa dan memiliki kapasitas dalam menjalankan hukum syara. Imam Al-Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, beliau menjelaskan seorang pemimpin bukan hanya yang memiliki ilmu pengetahuan, bukan saja yang piawai dalam mengatur urusan negara, tetapi juga berpengetahuan luas tentang agama. Itulah yang diajarkan Islam.
Rasulullah pernah mengingatkan dua sahabat yang datang kepada Rasul Saw. untuk meminta jabatan, namun Rasul justru menasehati keduanya sebagaimana riwayat dari Abu Musa al Asy’ari, beliau bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu”
Hal ini mengingatkan betapa beratnya amanah kepemimpinan. Sebab kesejahteraan umat sangatlah berpengaruh pada kebijakan pemerintah. Rasul juga mengingatkan bagi para pemimpin tentang konsekuensi di akhirat kelak bagi siapapun yang tidak bertanggung jawab terhadap amanah tersebut,
“Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada tempat terburuk bagi penguasa dan pejabat yang tidak mau mengurusi rakyatnya kecuali neraka. Masihkah kita mau mengantungkan nasib umat Islam di tangan pejabat jahat yang terobsesi dengan kekuasaan?
Wallahualam bissawab
[LM/nr]