UU HPP yang Tak Kunjung Harmonis
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSa Media News.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan ditetapkan. Hal itu sesuai dengan beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan dan juga untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (republika.co.id, 14-11-2024).
Penerapan tarif PPH tersebut sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan tersebut menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto merasa heran pemerintah masih saja teguh pada apa yang akan ditetapkan. Sungguh, di mana kepekaan para pembuat kebijakan terhadap situasi ekonomi ini?(republika.co.id, 21-11-2024).
Lebih memprihatinkan , menurut data yang diterbitkan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia masuk jajaran negara dengan pajak pertambahan nilai (PPN) atau value-added tax (VAT) tertinggi di wilayah ASEAN periode 2023-2024. Menyamai tarif Filipina yang kini juga sebesar 12%.
Tarif pajak tak kunjung harmonis, mirisnya, Indonesia samasekali tak sebaik lainnya meski tarif pajaknya mencapai peringkat tertinggi.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, kenaikan PPN 12 persen ini memang harus dijalankan oleh pemerintah, sebab sudah masuk dalam undang-undang, sehingga tidak bisa seenaknya lagi dibatalkan atau ditunda (Tirto id, 15-11-2024).
Jika dibatalkan, kata Fajry, revisi APBN bukan sesuatu yang mudah. Sementara, Tahun 2025, pemerintah sudah menargetkan penerimaan PPh, PPN, PPnBM dalam APBN 2025 naik double digit dibanding outlook 2024.
Maka, wajar pemerintah butuh kebijakan yang mampu memobilisasi penerimaan dalam jangka pendek dan kenaikan tarif PPN menjadi opsi.
PPN Merangkak Naik, Ekonomi Rakyat Makin Tercekik
Istilah yang digunakan pemerintah pun terkesan manis ” UU harmonisasi pajak”, sama seperti tarif tol dengan istilah “penyesuaian’, seolah candu yang terus disuarakan hanya untuk mendapatkan dana fresh dari rakyat.
Muncullah seruan agar masyarakat Indonesia hidup super hemat alias Frugal Living, diberbagai platform media sosial (kompas.com, 23-11-2024). Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan , ajakan ini jika benar diimplementasikan masyarakat secara luas malah potensial menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional, akibat masyarakat mengurangi kuantitas dan kualitas belanjanya secara signifikan.
Padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia strukturnya didominasi oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 53 persen per Kuartal III 2024. Tanpa style frugal living sekalipun, laju konsumsi rumah tangga selama tiga kuartal terakhir tahun ini memang sedang dalam tren penurunan, selalu di bawah 5 persen
Jelas bukan solusi, jangankan hidup hemat, sehari hanya makan sekali bahkan tak mendapatkan makanan apapun dalam sehari masih banyak. Dan yang utama, persoalan utamanya bukan itu.
Masyarakat harus menyadari, dalam sistem kapitalisme pendapatan dari pajak menjadi primadona ditambah utang. Sebab kapitalisme tidak memiliki aturan kepemilikan, siapa bermodal besar maka dialah yang berkuasa. Negara akan dijauhkan dari fungsi hakikinya, agar tercipta ekosistem yang bebas bagi usaha dan bisnis pengusaha. Itulah mengapa, berbagai kekayaan negeri ini tak pernah bermanfaat secara riil untuk kesejahteraan rakyat.
Islam Sanggup Wujudkan Negara Tanpa Pajak
Jelas bagian dari kezaliman jika kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Berbagai kebijakan yang disahkan selalu hanya untuk menguatkan Kapitalisme mencengkeram negeri ini. Negara sekali lagi hanya berfungsi sebagai regulator kebijakan sekaligus fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal. Mental korupsi di antara pejabatnya menambah parah penderitaan rakyat.
Padahal, jika kita melihat sejarah, dunia mencatat ada negara adidaya, poros peradaban dunia namun tanpa pungutan pajak sepeser pun. Perekonomiannya sesuai syariat, halal haram menjadi standar, Baitulmal adalah kas negara yang didapat dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara.
Negara itu Khilafah. Sistem kepemimpinan umum bagi kaum muslim yang menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan. Haram menjalin hubungan dengan kafir harbi fi’lan termasuk perdagangan dan perekonomian, apalagi meratifikasi kebijakan moneter mereka untuk diterapkan di negeri-negeri muslim.
Dimana pemimpinnya, adalah orang yang dimaksud Rasulullah Saw.sebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Dan ini hanya bisa jika Sistem Kapitalisme dicabut. Wallahualam bissawab. [ LM/ry ].