Kisruh Pilkada Demokrasi, Bikin Pusing Genji

Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom

(Aktivis Muslimah Aceh)

 

LenSaMediaNews.com__Negeri ini sedang disibukkan dengan urusan pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang akan dilaksanakan disetiap wilayah Indonesia secara serentak. Masalahnya adalah Pilkada sendiri juga menghabiskan banyak dana.

 

Pilkada serentak ditaksir akan menghabiskan anggaran lebih dari Rp. 41 Triliun. Jumlah ini berdasarkan data hitungan Kemendagri per 8 Juli 2024. Anggaran ini dirinci untuk KPU, Bawaslu 8,55 Triliun, TNI 871, 66 Miliar dan Polisi setempat 2,83 Triliun dan biaya lainnya yang tak terduga (Kompas.com, 10-07-2024).

 

Belum lagi nanti adanya serangan fajar yang mencoba untuk menyogok suara masyarakat dengan berbagai cara sperti paket sembako, voucer pulsa, bensin dan bentuk lainnya. Padahal, Bawaslu sendiri mengingatkan bahwa pemberi dan penerima akan dikenai sanksi sesuai pasal 515 dan pasal 523 ayat 1-3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang saja (Tribunews.com, 27-10-2024).

 

Karena banyak masyarakat yang sudah sadar betapa banyak kebohongan yang dilakukan oleh para pemimpin, maka digunakanlah cara lain. Seperti dilansir oleh Republika.com (25-10-2024), Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan kampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya, sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan.

 

Hal tersebut disampaikannya untuk merespons calon bupati yang viral saat kampanye menjanjikan pemilihnya masuk surga. “Kampanye seperti itu masuk dalam katagori mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik,” kata Kiai Zainut.

 

Ada banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Di antaranya Mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktek suap, juga janji masuk surga dll. Ini membuktikan bahwa demokrasi menghalalkan segala cara untuk memenangkan mereka dan meraih keuntungan dengan mengumbar janji palsu kepada masyarakat.

 

Rakyat menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan tertentu/ oligarki. Padahal biaya yang digunakan adalah uang rakyat. Dan rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut (terpecah belah, konflik horizontal, tidak terwujud kesejahteraan). Busuknya demokrasi dan dengan segala kecurangannya adalah hal yang sudah lazim terjadi karna begitulah tabiat mereka mempertahankan kekuasaan.

 

Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya, karena kepala daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan penunjukan Khalifah sesuai dengan kebutuhan Khalifah. Hal ini karena posisi mereka sebagai pembantu Khalifah. Maka tidak akan menghabiskan banyak dana seperti saat ini. Di mana semua uang itu membuat mereka juga bisa bangkrut dan gila.

 

Dalam Islam tidak ada praktek suap-menyuap untuk memenangkan suara umat. Karena mereka berpegang pada hadis: “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

 

Khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.

 

Sesederhana itulah Islam dalam memilih para pemimpinnya. Tidak akan memakan banyak waktu berbulan-bulan dan menghabiskan dana, yang harusnya dana itu semua dipergunakan untuk umat. Wallahualam. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis