Tambah Kursi Menteri, Bukan Solusi
LenSa Media News–Inovasi baru, harapan baru. Begitulah wacana yang digaungkan oleh para pejabat negeri ini. Usulan penambahan kursi menteri 2024 digadang-gadang sebagai ide kreatif dan terobosan baru.
Kursi inilah yang nanti akan diisi oleh para menteri muda di jajaran kabinet di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Pemerintah berharap penambahan kursi menteri ini akan menjadikan setiap program yang dicanangkan berjalan secara terpusat. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menyebut kementerian baru nantinya akan berjumlah 44 dari sebelumnya 34 orang (cnbcindonesia.com)
Meski pemerintah akhirnya mengesahkan RUU tentang perubahan UU no 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR RI ke 7 Masa Persidangan 1 tahun 2024-2025 pada kamis, 19 September 2024 lalu, namun hal ini tetap menuai kritik. Pasalnya jumlah kabinet 34 saja sudah terlalu banyak (gemuk) dan tidak efektif apalagi jika ditambah. Sebagaimana diungkapkan oleh pengajar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (cnnindonesia.com).
Kabinet baru yang diusung Prabowo kali ini disebut meniru kabinet zaken warisan Belanda yang berbasis kepakaran atau profesionalisme di bidangnya. Meskipun banyak pihak menilai upaya ini hanyalah gimmick dalam rangka bagi-bagi kekuasaan namun pemerintah tetap melanjutkan program ini karena sudah menjadi hak prerogatif presiden dalam sistem demokrasi.
Namun secara logika, semakin bertambah kursi menteri, semakin besar pula anggaran yang harus dikeluarkan APBN, otomatis akan berdampak pula pada naiknya pajak yang harus dibayarkan rakyat. Belum lagi fakta tumpang tindihnya kewajiban yang dijalankan oleh para wakil rakyat.
Sangat disayangkan, jika Indonesia masih menganut sistem politik transaksional maka arus perubahan menuju Indonesia emas tak akan pernah terjadi. Bagaimana mungkin wacana tambah kursi bisa jadi solusi jika beban keuangan terus mengikuti tak sepadan dengan kebutuhan rakyat yang tak terpenuhi serta masalah yang terus menghampiri.
Berbeda dengan sistem kehidupan yang pernah dicontohkan Rasulullah dan para khalifah setelahnya dalam sistem Islam. Dimana kepala negara dengan pertimbangan syariat mengangkat para pembantu negara sekelas menteri dan lainnya sesuai kebutuhan. Karena fokus kepala negara dalam Islam ada pada pelayanan kebutuhan rakyat secara maksimal dan optimal bukan untuk pencitraan apalagi politik balas budi. Fatimah Nafis. [LM/ry].