Betulkah Menikah Dini Menurunkan Kualitas Generasi?

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSa Media News–Menikah dini kembali disoal. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengungkapkan pentingnya pencegahan pernikahan anak demi mewujudkan generasi berkualitas untuk meraih nilai positif bonus demografi.

 

Gagasan tersebut didukung oleh Kementrian Agama (Kemenag) dengan komitmen mencegah perkawinan anak melalui pendidikan. Tak tanggung-tanggung, untuk merealisasikan misinya, Kemenag telah melatih siswa-siswi madrasah untuk menjadi para influencer ‘bahaya pernikahan dini’ bagi rekan sebayanya (kemenag.go.id, 20-09-2024).

 

Salah Kaprah Pernikahan Dini, Lahirkan Generasi Rusak Nan Lemah

 

Perkawinan anak yang dimaksud dalam narasi tersebut adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh pasangan berusia kurang dari 19 tahun. Negeri ini telah menetapkan usia 19 tahun sebagai batasan minimal usia menikah pada Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019. Kebijakan tersebut dirumuskan berdasarkan pendapat Elizabet B. Hurlock, seorang psikolog kelahiran Amerika Serikat. Dia memasukkan usia 10-24 tahun dalam kelompok usia remaja, yaitu individu yang belum dewasa dan belum siap menikah. Dan dalam sistem pendidikan sekuler saat ini pun, usia 6 – 19 tahun dikategorikan sebagai usia wajib belajar.

 

Mirisnya, di bangku sekolah formal, generasi muda ini hanya dijejali dengan kurikulum pembelajaran berkompetensi bersifat materi. Pembinaan mereka minim aspek ruhiyah atau ajaran agama. Peserta didik hanya disiapkan menjadi para pekerja budak kapitalis, utamanya untuk mensukseskan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s) gagasan PBB yang telah digaungkan di negara ini sejak tahun 2015.

 

Alhasil mereka tumbuh bertambah usia dan matang biologisnya, tanpa diimbangi dengan pembinaan agama. Naluri alamiah ketertarikan mereka terhadap lawan jenis pun membuncah, terpicu bebagai hal negatif mengundang syahwat yang bersliweran di sekeliling mereka, tersalurkan pada hal yang tak semestinya.

 

Pacaran, perzinaan, dan seks bebas pun merajalela tak terelakkan lagi. Marak terjadi pernikahan dini akibat hamil sebelum menikah, tanpa kesiapan dan bekal yang cukup untuk membina rumah tangga. Alih-alih terwujud keluarga yang harmonis, pernikahan ‘kecelakaan’ tersebut berbuntut berbagai masalah di kemudian hari, nir kebaikan.

 

Mirisnya semua itu lantas diklaim oleh aktivis gender Lenny Rosalin sebagai dampak buruk perkawinan dini yang selanjutnya akan menjadi penghambat indeks pembangunan manusia dan SDG’s (antaranews.com, 05-08-2020). Sungguh suatu kesimpulan yang sangat naif yang sebetulnya tak berkorelasi sama sekali dengan pernikahan di usia muda ketika dilakukan sesuai syariatNya.

 

Sejatinya semua masalah itu justru lahir dari kegagalan sistem pendidikan sekuler liberal materialistis yang diterapkan di negeri ini. Pegiat gender ini seolah lupa bahwa puluhan tahun yang lalu, pernikahan di usia muda pun lazim dilakukan oleh para orang tua kita.

 

Intensif dan kuatnya pembinaan agama dalam perjalanan pendidikan mereka, menjadikan para orang tua kita memiliki kematangan berpikir di usia belia sesuai tuntunanNya. Berbekal kedewasaan berpikir, mereka mampu mewujudkan pernikahan di usia dini yang sakinah dan langgeng.

 

Pernikahan mereka pun terbukti berhasil mewujudkan mahligai rumah tangga yang harmonis nan kokoh. Anak-anak yang dilahirkan pun salih salihah, sehat dan cerdas.

 

Jelas sudah bahwa yang harus dicegah bukanlah pernikahan usia dini. Namun yang harus dihentikan adalah maraknya ‘pernikahan dini akibat syahwat kebabalasan’. Dan satu-satunya cara yang bisa menghentikannya adalah dengan mengganti total sistem kehidupan batil hasil pemikiran barat dengan sistem yang sahih yaitu Islam.

 

Generasi Mulia Nan Kuat, Lahir dari Pernikahan Hakiki

 

Sangat berbeda dengan berbagai stigma negatif konsep pernikahan dini yang digaungkan oleh para pengekor pemikiran barat, ajaran Islam yang agung justru mendorong terwujudnya ikatan pernikahan yang suci ini seawal mungkin sebagaimana firman Nya di QS An Nuur ayat 32.

 

Syariat Islam telah menuntun umatnya untuk mempersiapkan diri sejak awal, sehingga terlahirlah generasi bertakwa yang menjalani hidupnya sebagai ibadah kepadaNya. Para lelaki disiapkan untuk menjadi pemimpin keluarga (qawam) dan pencari nafkah bagi keluarganya. Sementara para perempuan diajari sejak dini untuk menjadi calon ummu wa rabbatul bait dan madrasatul ula bagi keluarganya.

 

Berbekal ajaran Sang Penjaga Alam Semesta ini, maka ketika mencapai usia baligh pun mereka siap menyempurnakan setengah agamanya lewat ikatan pernikahan yang suci. Keturunan yang dilahirkannya pun, adalah generasi bertakwa nan kuat, siap untuk melanjutkan peradaban mulia nan gemilang.

 

Maasyaa Allah, tidakkah kita ingin mewujudkan semua kemuliaan hidup ini?Allahumma akrimna bil Islam, Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis