Kabinet Obesitas, Haruskah Rakyat Cemas?
Oleh : Ummu Haidar
LenSa Media News–Pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto kelak dikabarkan akan menambah Kementerian atau Lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Hal itu dibocorkan oleh Ketua MPR RI sekaligus Politikus Senior Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet).
Bocoran ini didengar oleh Bamsoet melalui obrolan “warung kopi”, yang disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu yang lalu (cnbcindonesia.com, 15-09-2024).
Fakta Obesitas Kabinet
Obesitas Kabinet merupakan konsekuensi koalisi besar yang dipilih sejak awal pencalonan. Meski tak dapat dipungkiri besarnya koalisi dapat menyokong kekuatan kinerja. Namun ibarat tubuh manusia yang cenderung memiliki masalah kesehatan kala obesitas menyapa. Kabinet yang obesitas pun sangat memungkinkan semakin lambat dalam bekerja.
Parahnya, sejauh ini belum ada resep baku yang dapat diandalkan untuk meramu koalisi agar kabinet tak obesitas dalam sistem politik overdosis parpol. Maka metode eksperimental alias coba-coba dipastikan jadi pilihan. Perombakan kabinet berulang kali tak terhindarkan.
Hal yang ditengarai justru kontraproduktif dengan kinerja kabinet ke depan. Alih-alih membuat negara dan rakyat menikmati kesejahteraan. Kabinet obesitas justru jadi beban berat yang membuat negara kian tertinggal dan diliputi banyak permasalahan.
Kabinet obesitas ditandai dengan banyaknya kementerian. Jelas hal ini membutuhkan banyak orang. Anggaran dana mengalami pembengkakan. Resikonya, utang negara membesar dan pungutan pajak mengalami kenaikan.
Disisi lain, job-des antar kementrian berpotensi kian samar, tumpang tindih penugasan dan kewenangan dalam membuat kebijakan tak mewujudkan efisiensi dan efektivitas yang diharapkan. Resiko munculnya celah korupsi terbuka lebar. Jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat pun terabaikan. Wajar jika obesitas kabinet jadi hal yang harus rakyat cemaskan.
Kapitalisme Biang Kerusakan
Fenomena tersebut, sejatinya merupakan buah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Mahalnya ongkos politik untuk meraih kursi kekuasaan di sistem sekuler demokrasi. Meniscayakan terjadinya over koaliasi. Untuk berbagi modal meraih jabatan dan memastikan kursi kekuasaan yang diingini.
Sistem ini meniscayakan kekuasaan yang lahir dalam habitat politik transaksional. Keberadaan partai sebatas untuk memenuhi syahwat kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Obesitas kabinet wajar terjadi sebagai politik balas budi atas berbagai parpol yang memberi dukungan. Hal ini membuka lebar pos-pos kerusakan. Jabatan selalu dimanfaatkan parpol untuk bagi-bagi remah kekuasaan, sementara urusan kapasitas dan kapabilitas seringkali diabaikan.
Akibatnya, rakyat selalu menjadi korban. Aspirasi publik pun senantiasa kalah dibanding kepentingan elit kekuasaan. Sementara sistem pemerintahan dikelola dengan menonjolkan keberpihakan pada para pemilik modal. Wajar jika kemiskinan dan ketimpangan jadi komoditas politik yang tak terhindarkan.
Islam Tumpuan Harapan
Kerusakan yang terjadi hanya bisa teratasi dengan mengembalikan kehidupan Islam yang menegakkan seluruh aturan Illahi. Sistem ini tegak diatas tiga pilar, yakni individu yang bertakwa, masyarakat yang menegakkan amar makruf nahi munkar dan negara yang konsisten menerapkan aturan Islam dalam kehidupan.
Islam menetapkan penguasa adalah pelayan (raa’in) sekaligus pelindung (Junnah) bagi rakyatnya. Mereka bertanggungjawab atas terjaganya nyawa, harta, akal, kehormatan dan aqidah warga negaranya. Baiat pengangkatan penguasa (Khalifah) mencakup kesiapannya menerapkan seluruh syariat Islam. Hal yang menjamin terwujudnya kesejahteraan.
Islam tidak mengenal sistem kementrian. Khalifah bertanggungjawab atas tupoksi kepemimpinan. Ia berhak mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan. Baik dalam melakukan fungsi kekuasaan seperti kepala daerah (wali maupun amil), fungsi militer seperti Amirul jihad, fungsi peradilan seperti Qadhi, maupun fungsi non kekuasaan seperti duta, pengurus Baitulmal, kepala departemen kemaslahatan umat, departemen kemediaan, dan sebagainya. Jabatan Khalifah dan para pembantunya dipandang sebagai amanah berat yang hanya layak diterima bagi sesiapa yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Islam.
Peluang penyimpangan rendah sebab masyarakat cerdas, terdidik dan sadar syariat. Pintu amar makruf nahi Munkar terbuka lebar, baik diemban oleh warga negara secara individual, maupun jamaah atau parpol. Keberadaan majelis umat penting dalam mengawal penguasa menjalankan fungsinya.
Sementara Mahkamah Madholim menjadi pemutus sengketa penguasa dan umat. Keberadaannya berwenang pula dalam memecat Khalifah jika menyimpang dari hukum syara atau kehilangan satu dari syarat in’iqod yang wajib ada padanya. Tidakkah umat merindukan hidup dibawah aturan Rabbnya yang sempurna? Menjamin keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Wallahu ‘alam bishawwab. [LM/ry].