Ngawi, Langganan Krisis Air Bersih di Musim Kemarau 

Oleh: Sunarti

 

LenSa Media News–Yen ketiga ora isa cewok, yen rendeng ora iso ndhodhok” artinya ketika musim kemarau tidak bisa cebok (karena kekurangan air), sebaliknya ketika musim penghujan tidak bisa duduk (karena kelebihan air – banjir, Jawa.pen). Inilah fenomena langganan bagi warga Kabupaten Ngawi selama bertahun-tahun. Kesulitan air di musim kemarau dan kelebihan air di musim penghujan.

 

Bencana kekeringan seolah sudah menjadi langganan bagi masyarakat Ngawi. Pasalnya air di daerah tertentu sangat sulit didapat. Bahkan untuk konsumsi sehari-hari saja, sangat sulit. Seperti yang terjadi tahun ini pada warga desa Ngancar, Pitu, Ngawi, yang terpaksa menggali lubang di dasar sungai yang ada di desa setempat guna mendapatkan air sebagai konsumsi sehari-hari (Jawa Pos Radar Ngawi, 23-9-2024).

 

Dampak dari perubahan iklim memang sangat mencolok di Kabupaten Ngawi juga di wilayah-wilayah lain. Pasalnya, sirkulasi air secara alami telah terganggu dengan kondisi lingkungan yang ada. Banyaknya tanah serapan air yang dijadikan perkotaan maupun industri sangat berpengaruh terhadap perputaran air di bumi.

 

Ngawi juga menjadi salah satu dari kota kecil sebagai target industrialisasi ranah nasional. Puluhan hektar lahan subur di Ngawi, kini telah menjadi gedung-gedung industri. Wajar saja jika banyak sekali berkurang area subur sebagai tanah resapan air. Akibatnya di musim kemarau, mata air akan semakin dalam. Dan air permukaan juga berkurang.

 

Sisi lain, banyak bermunculan pipa-pipa pengairan sawah yang kedalamannya melebihi air permukaan. Karena pipa air dengan sumber yang dangkal sudahlah susah untuk mengeluarkan air. Sehingga para petani berlomba untuk mendalamkan pipa-pipa air mereka guna memenuhi kebutuhan tanamannya saat musim kemarau dan tanamannya mengalami kekeringan. Akibatnya, sumur biasa tidak lagi mengeluarkan sumber air.

 

Perhatian pemerintah juga kurang. Karena berorientasi pada target keuntungan, maka air tidak bisa didistribusikan secara konsisten baik di musim kemarau maupun di musim hujan. Sumber-sumber air di daerah pegunungan, banyak dikuasai oleh para pengusaha. Akibatnya, layanan kebutuhan air, tidak menjadi perhatian di kota yang luas lahan pertaniannya ini masuk ke dalam lima besar di wilayah Jawa Timur.

 

Inilah bukti sistem mitigasi air yang kurang mendapatkan perhatian dan tidak dikelola dengan baik. Pemerintah daerah lebih memilih lahan industri demi keuntungan, dibandingkan dengan sirkulasi alami air di bumi Ngawi. Alasan ekonomi menjadikan mudahnya para investor asing mengurangi lahan resapan air. Ini juga sebagai bukti, sistem kapitalis tidak berpihak pada rakyat, namun berpihak pada para pemilik modal.

 

Semua itu, akan berbeda halnya ketika sistem Islam yang ditetapkan. Dalam sistem Islam, negara, baik Khalifah sebagai kepala negara maupun para wali sebagai kepanjangan tangan dari Khalifah, mengatur mitigasi air dengan baik.

 

Karena air merupakan kepemilikan umum, maka keberadaannya tidak diperjualbelikan, baik kepada individu maupun kepada asing. Lahan resapan air berupa hutan dan lahan pertanian tidak diprioritaskan untuk lahan industri. Agar sirkulasi alami air tetap terjaga. Tidak terjadi kekeringan di musim kemarau dan juga tidak banjir di musim penghujan.

 

Negara memiliki tanggung jawab besar terhadap kebutuhan air bagi rakyatnya. Jikapun terjadi kekeringan, negara akan berupaya untuk menyediakan air bersih yang layak dikonsumsi oleh masyarakat dan juga kebutuhan lainnya. Negara akan tanggap bencana, sebagai bentuk perlindungan terhadap keselamatan warganya. Dan pencegahan bencana kekeringan diantisipasi dengan cara pengaturan mitigasi air dengan baik. Sehingga tidak terjadi bencana langganan di suatu tempat.Waallahu alam bisawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis