Kebijakan Fiskal Negara Buat Rakyat Terjungkal

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSa Media News–Berita terbaru bagi penerima manfaat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI berupa penambahan penerima sebanyak 34 ribu unit.

 

Alokasi itu direalisasikan dalam program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dari data sebelumnya 166 ribu keluarga tercatat meningkat menjadi 200 ribu penerima.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacararibu mengatakan kebijakan ini akan sangat membantu MBR yang memiliki kapasitas keuangan yang masih terbatas dan secara tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (republika.co.id, 20-9-2024).

 

Stimulus fiskal ini untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika ekonomi global yang tak menentu. Properti dijadikan fokus strategis oleh pemerintah sebab dari sisi besarnya efek pengganda sektor tersebut, baik forward maupun backward linkage, termasuk dalam serapan tenaga kerja.

 

Insentif lainnya bagi MBR yaitu insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Biaya Administrasi (BBA), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dan bantuan Rumah Sederhana Terpadu (RST).

 

Tak hanya MBR bagi DTP( masyarakat pembeli rumah tapak dan rusun) melalui PMK 61 Tahun 2024, berupa tambahan fasilitas insentif PPN DTP 100 persen mulai 1 September-Juni 2024 dilanjut 50 persen hingga 31 Desember 2024, untuk harga jual rumah Rp2 hingga Rp5 miliar.

 

Bangun Rumah Sendiri, Kena Pajak?

 

Bagi mereka yang mampu membeli rumah sendiri dan membangun rumah sendiri tanpa kontraktor, ternyata tak aman dari pajak , muncul adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada tahun 2025.

 

Tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN dan Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ada penyesuaian tarif PPN dari 11 persen pada 2022 menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025 (Kompas.com, 15-9-2024).

 

Apa yang menjadi pilihan untuk rakyat? Jika bukan skema kepemilikan rumah melalui KPR yang berbasis riba, semua kelas kena pajak, subsidi tak mampu menolong, lantas dimana frasa pemerintah meringankan rakyat?

 

Pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah yang memadai. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah yang memadai atau layak, dikenai pajak yang makin tinggi.

 

Atas nama penguatan akselerasi ekonomi, rakyat terseok-seok memenuhi kebutuhan hidup yang kian melambung harganya. Daya beli menurun, akibat gelombang PHK yang susul menyusul. Obyek pajak sudah diperluas, perolehan pajak dilaporkan juga surplus tapi giliran untuk kesejahteraan rakyat tak menetes.

 

Islam, Negara Tanpa Pajak

 

Nyatalah negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumahan masyarakat. Padahal, kebutuhan pokok yang timpang tentu bukan kondisi ideal bagi negara yang menetapkan 2045 sebagai Indonesia emas.

 

Dalam sistem kapitalisme yang diadopsi negara hari ini, penetapan pajak adalah satu keniscayaan karena itulah sumber pendapatan terbesarnya. Nyatanya memanglah ironi, Indonesia negara kaya raya, jikapun diembargo dunia global , Indonesia masih bisa bertahan sebab berbagai kekayaan sumber daya alamnya jadi penyumbang terbesar kebutuhan global.

 

Namun mindset negara terjajah yang melekat di benak para pemimpin negeri ini, sehingga mereka lebih percaya apa yang ditetapkan global akan nasib negerinya. Seolah benar Indonesia tak punya dana yang besar, teknologi yang canggih serta tenaga ahli yang profesional. Bertahun-tahun pemikiran itu dipelihara, padahal itulah tipu daya barat agar kita tetap bodoh, tidak bergerak menuntut keadilan yang sudah mereka rampas.

 

Islam mewajibkan, negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak. Bukan hanya ASN tapi juga bidang lain semisal pertanian atau industri. Atau bahkan jika ingin membuka usaha sendiri tapi membutuhkan dana, lahan atau pelatihan dari negara maka negara memfasilitasinya. Bagi mereka yang uzur maka negara akan mengurusnya dari Baitulmal.

 

Jaminan negara bagi kebutuhan papan di antaranya kemudahan muamalah mendapatkan rumah tanpa riba dan harga yang layak. Kemudian diterapkan hukum tentang pertanahan semisal larangan penelantaran lahan selama tiga tahun berturut-turut, ihya al mawat ( menghidupkan tanah mati) , tahjir (pemagaran tanah yang belum dimiliki siapapun) dan iqtha’ (pemberian tanah atau lahan oleh negara), juga larangan mengambil pajak.

 

Pajak bukan instrumen utama bagi pos pendapatan negara, melainkan hasil pengelolaan kepemilikan umum dan negara, semisal tambang, energi minyak bumi dan gas. Jika pun butuh pungutan pajak, maka hanya pada kondisi tertentu dan terbatas pada rakyat yang aghnia (masih memiliki kelebihan harta setelah dikurangi dengan kebutuhan menafkahi keluarga dan orang yang ada dibawah pengurusannya). Masihkan ragu jika ini adalah tuntutan keimanan kita kepada Allah SWT.? Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis