Running Text Azan Bentuk Toleransi kebablasan
Oleh : Diana Kamila
Mahasiswa STEI Hamfara
LenSa Media News–Kementerian Agama mengirimkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menayangkan azan magrib dengan running text di televisi khusus saat misa akbar berlangsung. Misa akbar ini akan dipimpin oleh Paus Fransiskus dan disiarkan secara langsung di TV-TV nasional.Dalam agendanya, misa akbar dengan Paus Fransiskus ini akan dimulai pukul 17.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB. Tentu saja jadwal pelaksanaan misa ini hampir bersamaan dengan masuknya adzan magrib.
Sebagai langkah toleransi beragama dan untuk menghormati umat katolik, maka Kemenag menyarankan kepada Kominfo agar pada saat itu adzan Maghrib tetap diumumkan di televisi, tapi melalui running text atau teks berjalan. Dengan demikian, pada momen ini, tayangan kumandang adzan tidak ditampilkan seperti biasanya (detik.com, 04/09/2024).
Tentu saja, kejadian ini menimbulkan perbedaan persepsi di tengah umat Islam. Namun mayoritas umat Islam di Indonesia justru mendukung penayangan azan di televisi menjadi running teks. Bahkan beberapa pihak seperti MUI, PBNU dan IMM turut melontarkan tanggapannya. Menurut mereka, penggantian tayangan adzan magrib menjadi running teks dari aspek syar’i tidak ada yang dilanggar.
Lebih lanjut mereka menyampaikan kebijakan ini sebagai bentuk toleransi. Dalam sebuah kesempatan, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ulil Abshar Abdallah menyampaikan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Katolik yang tengah beribadah.
Bentuk Toleransi Kebablasan
Sayangnya penerimaan umat Islam perihal azan yang diganti dengan running text di televisi menyisakan keprihatinan. Hal ini sekaligus menandakan kekalahan umat Islam. Azan bukan sekedar panggilan salat saja, melainkan sebuah syiar Islam. Salat adalah kewajiban setiap muslim. Negara bertanggung jawab mengontrol dan menyeru umat Islam untuk melaksanakan kewajiban itu.
Salah satu wujudnya melalui penyiaran azan di televisi. Namun dalam sistem sekulerisme, negara memandang salat sebagai urusan masing-masing individu. Negara tidak berhak mengatur atau bahkan memaksa umat Islam untuk menunaikannya. Maka dari itu, pemberitahuan waktu salat Magrib dianggap cukup dilakukan melalui running text. Padahal dampaknya tentu berbeda ketika azan disiarkan dengan tidak disiarkan.
Selain itu, menganti azan dengan running text karena bertabrakan dengan siaran misa akbar menimbulkan kesan bahwa misa lebih penting dari azan yang merupakan panggilan salat. Sesuatu yang penting akan diprioritaskan. Mungkin itu tepatnya.
Penyiaran misa yang mengeser tayangan azan tampak bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada umat Islam. Urusan umat Islam dinomorduakan. Parahnya lagi umat Islam harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi.
Seharusnya acara yang disiarkan langsung di televisi nasional adalah acara yang ditonton oleh mayoritas rakyat Indonesia, bukan minoritas. Sedangkan mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Perlu dipertanyakan lagi siaran misa akbar yang sedemikian heboh, apakah memang ada “udang di balik batu”. Untuk apa? Apa sekedar informasi sebuah kegiatan, misi kristen atau agenda politik tertentu?
Toleransi Dalam Konsep Islam
Jelas apa yang kita saksikan saat ini adalah bentuk toleransi yang melampau batas koridor syara. Islam bukan agama intoleran, namun Islam memiliki batasan yang khas dalam mengatur kata “toleransi”. Sedangkan toleransi yang saat ini diadopsi adalah toleransi ala barat yang justru membuat umat Islam menyamakan agamanya dengan agama lain.
Konsep toleransi dalam Islam adalah keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah Swt.,“Sesungguhnya Agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam” (TQS Ali Imran 3: 19).
Selain itu, kaum muslim harus meyakini bahwa Islam adalah agama satu-satunya yang diridai oleh Allah. Islam agama tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah,“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).
Maka dari, umat Islam tidak akan bisa mendapat julukan “Khairu Ummah” atau sebaik-baik umat jika masih terjebak dalam narasi yang dibangun barat, semisal hak asasi manusia, toleransi atau bahkan moderasi beragama. Umat Islam harus yakin terhadap agama yang diyakininya, bukan justru mendukung agama lain atau bahkan merelakan agamanya diinjak-injak oleh orang kafir.
Respon penguasa negeri yang mayoritas rakyatnya beragama Islam juga cukup memprihatinkan. Penguasa dan tokoh agama bersekongkol menyetujui kebijakan yang menjatuhkan harga diri Islam. Negara justru diam seribu bahasa saat umat Islam dizalimi.
Maka dari itu, umat Islam sangat membutuhkan institusi politik yang mampu menaungi umat Islam. Mengayomi serta tegas terhadap urusan kaum kafir. Dan hal tersebut tidak akan terwujud jika umat Islam masih bergantung kepada sistem kufur kapitalsime sekuler. Wallahu a’alam bissawab. [LM/ry].