Democracy (will) Die
Oleh Ummu Zhafran
Pegiat literasi
LenSa MediaNews__ Masih ingat buku yang sempat viral beberapa waktu lalu? Buku bertajuk How Democracies Die ramai dibicarakan publik negeri ini setelah terlihat sedang dibaca oleh seorang tokoh nasional di akun media sosialnya. Ya, siapa lagi orangnya kalau bukan mantan capres di Pemilu lalu dan juga mantan Gubernur DKI Jakarta.
Setelah “drama” tarik ulur proses pencalonan kepala daerah, ditambah lagi centang perenangnya aturan perundangan yang berlaku mau tidak mau mengingatkan penulis akan buku di atas. Pada akhirnya demokrasi semakin memperlihatkan wajah aslinya. Suara rakyat yang kerap diklaim sebagai suara Tuhan nyatanya justru yang sering diabaikan. Terbukti sosok mantan Gubernur yang banyak dikagumi dan diusung oleh mayoritas penduduk ibukota, akhirnya ‘terpaksa’ mundur dari bursa pencalonan setelah melalui banyak intrik dan kasak-kusuk politik. Hal tersebut karena, menurut analisa pengamat politik Rocky Gerung, sang tokoh banyak menentang kebijakan rezim yang sekarang. (Official iNews, 29-8-2024)
Amboi, inikah tanda-tanda kematian demokrasi di negeri ini? Kalau menurut Steven Levitzky dan Daniel Ziblatt, hal itu benar. Dalam buku How Democracies Die karya keduanya, tersurat bahwa demokrasi niscaya mati, pelan tapi pasti bahkan bisa tanpa disadari. Setidaknya terdapat tiga faktor pemicunya, pemimpin yang otoriter, penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, serta penindasan total atas oposisi.
Parahnya lagi, ketiga faktor ini dalam pandangan mereka sedang terjadi hampir di seluruh dunia. Hingga kedua profesor ini berharap masyarakat dunia mengerti cara untuk menghentikannya. Jika menilik ke belakang, harapan kedua penulis buku ini sangat sukar bahkan mustahil terwujud. Sebab, bagaimana mungkin menahan matinya demokrasi sementara sejak awal hal itu sudah lama diprediksi banyak pihak?
Salah satunya Plato, filsuf yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi, menengarai demokrasi dapat memunculkan tirani ketika seorang demagog naik ke tampuk kekuasaan dengan membagi-bagi kekuasaan pada banyak orang dengan segala cara. Bahkan untuk semua itu ia tak segan melakukan perbuatan amoral hingga kekuatannya menjadi tak terkendali dan demokrasi pun runtuh. (Plato, The Republic, 375SM)
Senada dengan Plato, sejarawan Inggris abad 18 Lord Acton di suatu kesempatan juga pernah melontar, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”
Artinya, kekuasaan akan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup secara absolut pula. Padahal diketahui Lord Acton berasal dari negeri kampiunnya demokrasi.
Masih banyak lagi kritik tajam terhadap demokrasi. Sampai sekarang pun bisa langsung terlihat kecacatannya antara lain akibat ide kebebasan bertingkah laku. Tampak dari perilaku bebas hingga bejat masyarakat Barat, habitat aslinya demokrasi. Begitu pula berbagai krisis dan bencana yang terjadi karena keserakahan para kapitalis mereka. Belum lagi eksploitasi sumber daya alam dari bangsa-bangsa yang dijajah. Sekaligus menjadikan negeri-negeri jajahannya sebagai pasar bagi industri, produk, dan ide sekulernya yang memisahkan nilai agama dari kehidupan.
Kedustaan dan tipu-tipu demokrasi terus berlanjut. Bukankah sering diklaim bahwa parlemen adalah wakil rakyat yang juga mewakili pendapat mayoritas rakyat? Dengan kata lain mereka menyatakan bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen adalah wujud kehendak mayoritas rakyat. Realitasnya tidak demikian. Beberapa waktu lalu, justru massa turun ke jalan untuk mendemo DPR karena para wakil rakyat tersebut dituding ingin membegal keputusan Mahkamah Konstitusi.
Lebih menyedihkan lagi jika menyimak apa yang dulu pernah diutarakan Ismail Yusanto, sosok cendekiawan muslim tentang relasi demokrasi dan Islam. Bahwa terhadap Islam meski mayoritas penganutnya, demokrasi tidak memberikan jalan yang leluasa. Kalau pun diberikan hanya untuk Islam yang sedikit, bukan Islam yang kafah. Begitu Islam mendekati tujuan politik, maka demokrasi menutup diri alias tak berkenan. (gatra.com, 5-8-2019)
Bertahun kemudian publik bisa menyaksikan sendiri betapa demi mempertahankan posisi, parpol yang awalnya mengusung nilai-nilai Islam sekarang goyah dan terpecah-pecah. Bahkan tak sedikit yang berpaling, mengambil jalan yang dinilai publik berseberangan dengan prinsip yang sebelumnya diusung. Miris.
Semua hal di atas semakin menegaskan pernyataan Pak Steven dan Daniel bahwa demokrasi punya banyak cacat dan lambat laun akan mati. Biarkan saja. Toh umat muslim sudah punya jalan sendiri untuk bangkit dan meraih keridaan Allah SWT. Tentu jalan yang ditempuh Rasulullah saw. dan para sahabat. Dengan menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin. Tidak yang lain. Wallahu a’lam.