Tidak Cukup Hanya Menyenangkan, Tetapi Harus Halal dan Tayib

Oleh: Denik Eka
Lensamedianews.com, Opini –  Beberapa waktu lalu viral di media sosial X perihal ramainya pasien cuci darah di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta, dipenuhi oleh pasien anak-anak yang sedang melakukan cuci darah. Dilansir dari health.detik.com (27/7/2024) tercatat sekitar 60 pasien anak yang sedang menjalani prosedur tersebut.
Hal ini cukup mencengangkan, mengingat usia anak-anak yang masih belia yang sebenarnya memang jarang mengalami gagal ginjal dibanding orang dewasa. Namun faktanya, jumlah tersebut tidak mengalami lonjakan seperti kasus tahun sebelumnya.
Ira Purnamasari pakar kesehatan UM Surabaya menjelaskan bahwa selain karena kelainan bawaan, gagal ginjal pada anak juga bisa disebabkan karena obesitas. Obesitas bisa disebabkan karena gaya hidup yang salah satunya akibat pola makan tidak sehat. Sering mengonsumsi minuman manis kemasan, makanan cepat saji, dan makanan berkalori tinggi.
Realita hari ini banyak produk industri makanan minuman berpemanis di Indonesia. Produk tersebut mengandung pemanis yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam angka kecukupan gizi. Baik pemanis dari gula asli ataupun pemanis buatan. Gula bila dikonsumsi secara berlebih bisa menyebabkan diabetes dan selanjutnya dapat menyebabkan komplikasi serius salah satunya gagal ginjal. Sedangkan pemanis buatan sering kali mengandung bahan kimia yang bisa merusak fungsi ginjal jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.
Meskipun efek ini tidak langsung dirasakan, risiko gangguan ginjal bisa meningkat signifikan setelah penggunaan yang berkepanjangan. Belum lagi makanan siap saji yang beberapa sudah dimodifikasi dengan bahan kimia tertentu, sudah menjadi makanan sehari-hari anak. Hal ini turut menambah angka resiko gagal ginjal pada anak.
Pola konsumsi tidak sehat tentu tidak terlepas dari pola konsumtif dan permisif mengikuti tren. Hal ini terjadi karena kehidupan sekularisme (memisahkan aturan Islam dari kehidupan) kapitalisme (menjadikan uang sebagai tujuan dari segala aktivitas) yang ada di tengah masyarakat. Masyarakat tidak lagi memerhatikan aturan Islam dalam hal konsumsinya. Asal mau dan mampu, maka tidak jadi persoalan apakah makanan tersebut halal dan tayib ataukah tidak. Sementara, pihak produsen memproduksi makanan dan minuman hanya mengutamakan aspek keuntungan semata tanpa mempertimbangkan aspek lainnya termasuk aspek keamanan pangan untuk anak.
Negara pun tidak memerhatikan pola konsumsi masyarakat, abai dalam menentukan standar keamanan pangan bagi masyarakat. Alhasil anak-anak menjadi korban akibat makanan dan minuman tidak sehat.
Negara sebagai pelindung rakyat, sudah seharusnya memerhatikan setiap detail urusan rakyatnya tak terkecuali persoalan konsumsi. Negara memastikan makanan dan minuman yang diproduksi adalah makanan halal dan tayib. Makanan halal dan tayib ini tidak hanya berlaku untuk muslim tapi juga nonmuslim. Karena makanan yang halal berhak dikonsumsi siapa saja dan pasti menghindarkan dari keburukan konsumsi bagi yang memakannya. Sedangkan makanan tayib yang berarti baik bahannya, bermanfaat bagi tubuh, dan lezat rasanya juga menjadi hak bagi semua warga negara.
Negara bisa mengontrol industri agar memenuhi ketentuan tersebut dengan membuat aturan dan sanksi yang tegas terkait keamanan pangan. Diperlukan tenaga ahli untuk membantu pengawasannya. Negara juga harus melakukan edukasi atas makanan halal dan tayib ini melalui berbagai mekanisme dengan berbagai sarana yang ada untuk mewujudkan kesadaran pangan yang halal dan tayib. Niscaya tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun akan terhindar dari pola konsumsi yang tidak sehat. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis