Politik Transaksional Keniscayaan dalam Demokrasi
Politik Transaksional Keniscayaan dalam Demokrasi
Oleh : Q. Rosa
LenSaMediaNews.com – Demokrasi kapitalisme, sebuah sistem pemerintahan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, ada proses pemilu yang melibatkan rakyat pada pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Sistem ini dilaksanakan dengan dasar materialisme, sehingga setiap aktifitasnya berujung pada profit oriented, termasuk persoalan pemilu niscaya bersifat transaksional.
Menteri Koordinator Politik,Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam), Prof. Mahfud MD, mengatakan pemilu pada tahun 2024 cenderung masih transaksional. Oleh karena pendapatan per kapita mayoritas penduduk Indonesia masih rendah sehingga banyak dimanfaatkan oleh politisi untuk ‘membeli’ suara. Terjadilah transaksi jual beli suara dalam proses pemilu. Bukan lagi memilih siapa yang kompeten dan kapabel, tetapi sangat tergantung pada harga beli suara. Di sinilah akan menjadi pintu masuk korupsi yang makin marak, artinya tidak ada makan siang gratis.
Politik Balas Budi
Tidak cukup dijual beli suara, transaksional juga menghinggapi para elit politik di negeri ini. Oleh karena pascasukses meraup suara terbanyak, saat ini muncul lah beberapa nama direktur dan petinggi BUMN yang dulunya menjadi tim sukses paslon.
Beberapa deret nama yang disinyalir terkait unsur balas budi yaitu; Grace Natalie, Mantan Wakil Ketua Dewan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diangkat menjadi Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID). Fuad Bawazier, politikus Partai Gerindra, juga menduduki jabatan komisaris utama.
Selain itu, ada Siti Nurizka, Puteri Jaya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Gerindra, diangkat sebagai Komisaris PT Pupuk Sriwijaya (Persero). Condro Kirono dan Simon Aloysius Mantiri yang merupakan Wakil Ketua dan Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) masing-masing ditunjuk sebagai Komisaris Independen dan Komisaris Utama PT Pertamina.
Meski menuai protes, tapi fakta menunjukkan politik transaksional suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Penunjukkan komisaris dan beberapa petinggi BUMN, bukan berdasarkan kelayakan jabatan. Hal lazim akan memengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya kerja dan profesionalisme, muncul berbagai spekulasi bisnis, yang rawan kepentingan dan korupsi. Bukan mustahil akan menafikan kepentingan negara apalagi kepentingan rakyat.
Sistem Islam Tanpa Politik Transaksional
Karakter Islam adalah agama yang bersifat komprehensif yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89). Islam membutuhkan eksistensi negara (kekuasaan) untuk menjalankan syariat secara kaffah. Maka dari itu, agama dan kekuasaan tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW :
أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ
“Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Quran) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Quran).” (HR Thabrani). [3]
Dalam masyarakat, Islam tegak dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Suasana keimanan ini menjadikan setiap aktivitas individu masyarakat bertujuan menggapai rida Allah, bukan materi dan jauh dari profit oriented. Oleh karenanya suara rakyat tidak bisa dibeli, keimanan mereka akan mendorong melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengontrol kerusakan di tengah masyarakat akibat dari suap menyuap ataupun korupsi.
Termasuk dalam proses pemilihan pemimpin (Kh4lif4h) dan anggota Majelis Umat. Mereka dipilih karena kualifikasinya yang memenuhi syarat kelayakan pemimpin dan wakil rakyat. Bukan didasarkan pada berapa banyak dana kampanye yang mampu dikeluarkan sang calon. Namun lebih mengedepankan pada mereka yang faqih fi din dengan keimanan dan ketakwaan yang kuat.
Sisi lain berlakunya politik ekonomi Islam akan mencegah penguasaan perusahaan kepemilikan umum seperti pertambangan dikuasai oleh individu apalagi kaum oligarki. Namun semua dalam kontrol kuat pengelolaan oleh negara dengan konsep profesionalisme.
Di sisi sistem sanksi, syariat Islam memiliki mekanisme kuat untuk melaksanakan sanksi tegas pada pelaku kejahatan termasuk korupsi dan suap- menyuap. Sistem ini memiliki efek jera, karena keadilan dan hukumnya yang berasal dari Sang Maha Adil.
Wallahu’alam bishowwab.