Tata Kelola Sampah Salah, Penyebab Bencana
Tata Kelola Sampah Salah, Penyebab Bencana
Oleh: Danis Nuraa
(Bojongsoang)
LenSaMediaNews.com – Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menyatakan 7,96 persen warga masih membuang sampah ke sungai atau selokan, 12,86 persen menimbun sampah, dan 7,33 persen membuang sampah sembarangan. BPS juga mencatat bahwa semakin rendah status ekonomi rumah tangga, semakin tinggi persentase rumah tangga yang tidak melakukan pengelolaan sampah yang baik dan aman. Diketahui dari pengakuan warga sekitar Sungai Cikeru, anak Sungai Citarum pembuangan sampah langsung ke sungai merupakan solusi alternatif dikarenakan jadwal pengangkutan sampah yang tidak jelas. Padahal setiap setiap bulan warga selalu membayar iuran sampah yang telah ditentukan. Namun pada prakteknya justru pengangkut sampah tidak dilakukan sebagaimana jadwal yang ditentukan. (Kumparan.com, 13 Juni 2024)
Mengapa masalah sampah ini tak pernah usai?
Meskipun untuk menanggulanginya telah diadakan berbagai program, seperti daur ulang sampah, bank sampah, atau pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Program itu hanya berjalan sesaat saja, setelahnya kembali muncul masalah sampah. Program tersebut tidak sedikit yang terhenti karena terkendala dengan dana.
Hal ini mengesankan penguasa tak serius menangani pengelolaan sampah. Tata Kelola sampah merupakan tugas negara dalam kepengurusannya, mulai dari pengangkutan dari tiap rumah tangga (RT) hingga pembuangan terakhir. Tidak tepatnya pengelolaan sampah akan banyak menimbulkan dampak seperti pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan lingkungan menjadi kumuh.
Dalam sistem yang diterapkan saat ini, justru pemerintah tidak pernah secara sadar benar-benar memikirkan lingkungan hidup warga negaranya sendiri. Lihat saja fakta yang disuguhkan pada masyarakat saat ini, pembangunan yang menerjang segala aturan, penambangan yang ugal-ugalan. Namun disisi lain pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup sehat, bersih, hemat, teratur. Itulah buah dari sistem kapitalis-sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, justru kepengurusan hajat masyarakat termasuk didalamnya tempat tinggal, lingkungan dimana ia akan berkehidupan. Sejatinya, seperti gambaran perumahan masa kini dimana dalam satu wilayah terdapat pemukiman, perkantoran, pasar, rumah sakit, sekolah, tempat rekreasi, dan lain sebagainya. Perbedaannya adalah semua itu akan secara cuma-cuma diberikan dan disiapkan oleh khalifah selaku pimpinan tertinggi dalam kekhilafahan. Ia akan mengatur segala kebutuhan rakyat dibawah priayahannya. Benar, priayahan atau disebut juga kepengurusan. Karena sejatinya pemimpin adalah posisi dimana ia akan bertanggungjawab atas rakyatnya.
Dalam persoalan sampah ada keterkaitan antara masyarakat dan negara. Yakni setiap individu atas dasar keimanan akan menjaga kebersihan serta menjaga lingkungannya, dan negara menyediakan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat untuk mengelola sampah tersebut.
Maka dengan diterapkannya sistem Khilafah, sejatinya ridho Allah telah didapat, maka Rahmatan lil ‘Alamiin pun pasti terwujud dikarenakan Allah rida dengan aturan yang diterapkan.
Wallahu’alam bishowwab.