Polemik Aturan Tes Narkoba Calon Pengantin
Mulai Agustus mendatang, pasangan calon pengantin di Jawa Timur diwajibkan mengikuti tes narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba) terlebih dahulu. Langkah tersebut dilakukan untuk melindungi generasi yang akan datang dari kontaminasi narkoba.
Meski pihak Kementrian Agama (Kemenag) mengonfirmasikan apabila calon pengantin dinyatakan positif terkontaminasi narkoba, mereka tetap bisa menikah, tapi wajib mengikuti proses rehabilitasi. Namun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani pecandu narkoba, Our Right To Be Independent (Orbit) menolak keras rencana tersebut.
Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak sosial, sebab pernikahan melibatkan dua keluarga. Bila salah satu calon terindikasi positif narkoba bukan tak mungkin, pernikahan dibatalkan. Akankah menjadi solusi efektif? Mengingat pernikahan saat ini tidaklah mudah. Administratifnya panjang, sisi sosialnya pun pelik.
Sebut saja mahar dan biaya resepsi yang terkadang menjadi penghambat terjadinya pernikahan. Bayangkan bila pernikahan semakin dipersulit, kerusakan sosial bertambah pula. Masalah narkoba dan munculnya wacana tes narkoba calon pengantin, semakin menunjukkan betapa tak berdayanya manusia di hadapan problematika kehidupannya.
Ketika hukum diserahkan pada akal manusia, alih-alih menjadi solusi malah menjadi polemik dan melahirkan masalah baru. Beginilah efek domino penerapan sekularisme. Hal ini seharusnya semakin menyadarkan kita betapa pentingnya kembali pada aturan Islam. Sistem kehidupan sempurna yang mengatasi masalah tanpa masalah.
Bukan hanya narkoba, semua barang yang merusak akal diharamkan baik produksinya, peredaran maupun penggunaannya. Selain penegakan hukum, negara juga wajib membina rakyat, bukan hanya terhadap bahaya narkoba.
Lebih dari itu, negara justru membangun keimanan dan ketakwaan rakyatnya melalui sistem pendidikan dan semua media. Inilah yang luput saat ini, manusia malah dibebaskan berbuat semata-mata demi kesenangan jasadiah. Oleh karenanya tak ada alasan lagi untuk menolak kembali pada syariat Islam.
Dede Yulianti, Bogor
[LN/Fa]