Ibu, Benteng Generasi Tangguh
Oleh: Sarah Ainun
LenSaMediaNews– Islam memandang keluarga sebagai institusi terkecil masyarakat. Ia merupakan benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat. Dari keluargalah awal sebuah generasi terbentuk. Generasi yang tangguh dan menguatkan ketahanan keluarga hanya bisa dibangun di atas landasan Akidah Islam yang menjadi dasar pemikiran semua keluarga.
Keluarga berfungsi sebagai pranata awal pendidikan primer. Di pundak seorang ibulah terletak tanggung jawab perkembangan ruhiyah (mental), aqliyah (intelektual), dan jasadiyah (fisik) generasi. Seperti sebuah syair Arab “Al-Ummu Madrasatul Ula, Iza a’dadthaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq” (ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik).
Namun konsep tersebut menjadi sebuah isapan jempol ketika melihat fakta yang terjadi saat ini. Berdasarkan data Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung tingkat perceraian yang semakin meningkat setiap tahunya dari 344.237 perceraian pada tahun 2014 naik menjadi 365.633 pada tahun 2016 (naik tiga persen pertahunya) (indopos.co. id, 04/05/2019). Dan data dari website Mahkamah Agung (MA) sebanyak 419.268 pasangan muslim bercerai sepanjang tahun 2018, belum termasuk pasangan non muslim (detiknews, 03/04/2019).
Banyaknya tingkat perceraian membawa dampak bagi perkembangan mental, intelektual dan fisik anak. Anak tidak lagi mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dan pengawasan kedua orang tua. Sehingga anak menjadi semakin bebas bergaul dan berperilaku. Tidak heran jika kenakalan-kenakalan remaja yang terjadi di rumah, masyarakat dan sekolah berakhir dengan tindakan kejahatan, seks bebas, pemakaian narkoba semakin meningkat setiap harinya.
Serangan pemikiran dan invasi budaya sekuler serta sosialisasi ide-ide liberalisasi melalui upaya penanaman nilai-nilai kebebasan merupakan konspirasi asing untuk merusak bangunan keluarga muslim.
Nilai-nilai kebebasan yang dikemas dan diciptakan yang jika tidak jeli untuk dilihat dan dikaji lebih mendalam berdasarkan tuntunan dan pandangan syariat dianggap sebagai sebuah karya yang membangun keluarga. Namun hakikatnya menghancurkan dan merusak. Sebagai contoh peringatan hari besar nasional Mother Day (hari ibu), hari keluarga, hari Kartini dan hari besar lainnya yang mengadopsi budaya barat.
Dengan menonjolkan atau mengedepankan isu perempuan, momentum tersebut untuk menderaskan paham gender, emansipasi dan keadilan, ide kesetaraan gender (KKG), termasuk pemberdayaan perempuan salah satunya dengan tujuan mempekerjakan kaum ibu sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang menjauhkan para muslimah dari penyempurnaan peran ibu sehingga melahirkan generasi terlantar yang rapuh dan penuh masalah.
Upaya yang mereka lakukan untuk membangun dukungan masyarakat terhadap nilai-nilai liberal melalui proses penyadaran secara terus menerus dengan mengadakan pelatihan-pelatihan berbasis liberal, training-training, diskusi-diskusi atau seminar-seminar dan sosialisasi media massa baik cetak maupun elektronik dengan tujuan agar terjadi perubahan dalam level individu yaitu kaum hawa.
Lebih lanjut mereka melakukan transformasi sosial melalui UU seperti pelegalisasian perilaku seks bebas atas nama hak asasi manusia (HAM), kondomisasi, adanya dukungan terhadap retaknya keluarga melalui undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (UU KDRT), hingga penghapusan UU yang masih mengandung ajaran Islam.
Lemahnya akidah kaum muslim, tidak adanya visi dan misi hidup yang jelas, lemahnya pemahaman terhadap aturan-aturan Islam tentang konsep pernikahan dan berkeluarga, merupakan faktor dari dalam keluarga yang memuluskan masuknya pemahaman liberal sebagai landasan yang menjadi pemikiran membangun keluarga.
Untuk membangun keluarga Islam yang tangguh bukan hanya tanggung jawab individu, keluarga ataupun masyarakat. Butuh peran negara yang mampu dan memiliki perangkat dalam membentengi masuknya paham-paham sekulerisme, liberalisme, kapitalisme dan komunisme yang rusak dan merusak tatanan bangunan keluarga muslim.
Melalui sistem Islam dengan menerapkan syariat secara kafah yang dapat mengokohkan akidah bangunan keluarga dan mengembalikan fungsi utama seorang ibu dalam keluarga sehingga mencetak generasi-generasi yang membangun peradaban mulia.
[LN/Fa]