Zero Hunger 2030, Program Utopis!
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com__‘Zero Hunger 2030′ alias ‘Tanpa Kelaparan di 2030’ merupakan salah satu program yang digagas dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Namun bak pepatah bagai menggarami air laut, entah kapan bisa terwujud. Sia-sia saja sepertinya. Bagaimana tidak, mengutip laporan Organisasi Pangan Dunia atau FAO di bawah PBB bertajuk ‘Global Report on Food Crisis 2024′, tercatat sebanyak 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. (cnbcindonesia, 4-5-2024)
Jika dibuat perbandingan, saat ini ada 1 dari 5 orang di dunia berada dalam kondisi lapar. Dengan kata lain jumlah orang kelaparan meningkat sebanyak 24 juta orang dari tahun sebelumnya.
Masih di laman berita yang sama, terungkap bahwa selama empat tahun berturut-turut, proporsi anak-anak dan perempuan berada di garis depan krisis kelaparan ini. Jumlahnya menyentuh di angka lebih dari 36 juta anak di bawah usia 5 tahun di 32 negara. Kabarnya hal itu disebabkan karena terjadi penurunan ketahanan pangan yang cukup tajam terutama jika dikaitkan dengan pecahnya konflik di Jalur Gaza dan Sudan.
Padahal bila ditilik lebih jauh, mengkambinghitamkan konflik sebagai penyebab krisis pangan justru terkesan tak masuk akal. Sebab jauh sebelumnya kesenjangan sosial di dunia sudah terus meningkat sangat tajam. Fakta tersaji di antara ratusan juta penduduk dunia yang kelaparan, segelintir justru hidup bergelimang kekayaan. Laporan kesenjangan Oxfam mencatat sejak 2020, total kekayaan bersih lima orang terkaya saja di dunia sebesar US$869 miliar. Nominalnya terus meroket 114 persen dari tahun ke tahunnya. (cnnindonesia, 5-3-2024)
Dunia jadi saksi betapa terjadi paradoks yang memilukan. Jika sedikit orang bisa mengangkangi harta yang sedemikian banyaknya, maka persoalannya tak lain soal tamak dan serakah. Keserakahan manusia dalam memenuhi keinginannya (berupa materi) berhasil merusak tatanan kehidupan dunia. Sebab terbentuk pemahaman bahwa kebahagiaan terukur dari besarnya pendapatan atau materi. Ujungnya membuat tak sedikit orang menghalalkan segala cara demi meraihnya.
Pemahaman tersebut merupakan tabiat asli dari ideologi kapitalisme yang secara luas diartikan sebagai sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali untuk memperoleh keuntungan terus-menerus. (wikipedia)
Dengan kata lain, profit merupakan orientasi utama kapitalisme. Tanpa memandang apakah dengan mengejar hal itu harus mengorbankan harta, tenaga, bahkan jiwa pihak lain. Kemaslahatan rakyat sudah tentu bukan yang menjadi prioritas. Salah satunya tercermin dari hilangnya subsidi di segala lini, perlahan tapi pasti. Contoh terbaru, hal tersebut dialami perguruan tinggi negeri yang sukses melambungkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru hingga tiga sampai lima kali lipat dari sebelumnya.
Di lini lain, misalnya pengelolaan sumber daya alam. Menurut data Walhi, 94,8 persen lahan di Indonesia berikut dengan sumber daya alamnya dikuasai korporasi lokal maupun asing. (katadata.co.id, 16/8/2022)
Padahal di mana ada korporasi, tentu di situ ada eksploitasi demi keuntungan pribadi dan golongan. Lagi-lagi rakyat, pemilik sesungguhnya dari sumber daya alam yang jadi korban.
Jujur saja, tak satu pun kondisi di atas terjadi bila ideologi Islam yang diterapkan. Islam secara sempurna terbukti mengangkat manusia pada kedudukan yang terbaik dan memberikan amanah pada negara untuk menjaga hal tersebut.
Tengok di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, sulit sekali mencari orang miskin. Tidak ada yang mau menerima zakat karena semua merasa mampu. Prestasi itu diperoleh karena syariat Islam diadopsi secara utuh menyeluruh.
Islam membolehkan seseorang menjadi kaya asalkan hartanya diperoleh dengan cara yang sesuai syariat. Selain itu, Islam juga menugaskan negara untuk menjaga keimanan dan ketakwaan masyarakat. Akibatnya yang kaya akan selalu menggunakan hartanya di jalan Allah Swt., seperti membayar zakat mal, infak dan sedekah.
Sementara Baitul Mal yang menjadi salah satu perangkat negara dalam Islam yang mengelola keuangan, diberi hak memiliki pendapatan tetap berupa jizyah, kharaj, ganimah, hasil dari pengelolaan SDA, fai, dan lain sebagainya.
Seluruhnya kemudian akan dimanfaatkan sebesarnya untuk kepentingan rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan membangun fasilitas umum. Tak ketinggalan pula membuka lapangan kerja.
Semua itu dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Khalifah dengan ikhlas, semata demi meraih rida Allah Swt. Kelaparan, kesenjangan, dan kemiskinan tak pelak akan bisa diminimalkan bahkan bisa sirna dari bumi Allah. Berganti dengan ketenangan, kesejahteraan, dan keberkahan. Demikianlah janji Allah Swt.
Wallahua’lam. [LM/Ss]