Himpitan Ekonomi, Fitrah Keibuan Kian Tergerus

Oleh: Nurhayati, S.S.T.

 

Lensa Media News – Anak adalah dambaan hati bagi pasangan yang telah menikah. Namun mirisnya, kehadiran anak tidak lagi menjadi dambaan manakala terlahir dalam kondisi ekonomi yang sulit. Seperti yang terjadi di Belitung, seorang ibu bernisial R (38 tahun) tega membunuh bayinya yang telah dilahirkannya di kamar mandi rumah miliknya 18 Januari 2024 lalu. Bayinya meninggal karena tidak bisa bernafas setelah dimasukkan kedalam wadah berisikan air. Setelah itu jenazah bayi mungil itu dibuang oleh R di kebun milik warga.

Menurut investigasi Polres Belitung R terpaksa melakukan ini, karena khawatir tak mampu membiayai anaknya. Diketahui R dan suaminya bekerja sebagai buruh dengan kondisi ekonomi yang sulit.

Kejadian R ini bukan kali pertama. Sudah banyak kasus seorang ibu tega membunuh anaknya. Berbagai macam alasan, ada yang karena faktor ekonomi, stress, mental yang tidak siap dengan peran Ibu, KDRT dari suaminya.

 

Kapitalisme Mencengkeram Fitrah Ibu

Belajar dari kisah R bahwa tidak dapat kita pungkiri hari ini himpitan ekonomi membuat dada kian sesak. Untuk kehidupan sehari-hari saja sudah sulit ditambah dengan tanggung jawab akan nafkah berupa tercukupinya kebutuhan primer dalam keluarga yang semakin sulit terpenuhi akibat harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.

Belum lagi jika anak-anaknya sudah bersekolah pastilah menambah deretan pengeluaran bagi orang tua. Maka hari ini kita dihadapkan bahwa mempunyai anak bukan hanya sekadar hasil dari pernikahan, namun juga kesiapan akan peran, tanggung jawab, termasuk di dalamnya kesiapan finansial.

Fenomena ibu tega membunuh bayi ini salah satu faktornya adalah rapuhnya keimanan sang ibu, sebab kekhawatiran akan rizki Allah merupakan kesanksian atas keimanan kita kepada Allah azza wa jalla. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 151).

Ibu yang “terpaksa” bekerja, namun kebutuhan hidup yang juga masih kondisi pas-pasan menunjukkan bahwa peran ayah yang juga bekerja nyatanya tidak maksimal untuk memenuhi tanggung jawab penafkahan. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi ibu yang mau tidak mau membagi perannya untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Juga ditambah dengan lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kehidupan tetangganya.

Kehidupan individuliastik kian nyata. Banyak orang yang sibuk dengan diri dan keluarganya sehingga tidak ada ruang untuk memikirkan terlebih membantu kehidupan orang lain. Sistem ekonomi kapitalisme hari ini nyatanya gagal memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat individu per individu. Lapangan pekerjaan sulit dan harus bersaing dengan TKA. Tenaga kerja dalam negeri harus tersingkirkan akibat kapasitas keahlian yang minim. Disebabkan oleh tingkat pendidikan yang tidak terkualifikasi.

Tentunya ini menjadi perhatian bagi penguasa bahwa untuk menghasilkan SDM yang unggul maka banyak hal yang harus dibenahi mulai dari memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau demi tercerdaskannya anak-anak bangsa. Bukan malah memberi karpet merah kepada TKA dan berlindung dengan alasan bahwa SDM kita tidak sesuai dengan kualifikasi kebutuhan industri.

Peran dan fitrah keibuan semakin tergerus akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Ibu terpaksa bekerja dan menjadikan peran utamanya sebagai pengurus anak dan rumah tangganya terbagi dengan pekerjaannya. Padahal menjadi ibu harusnya didukung oleh suaminya, lingkungannya dan juga support negara. Ini berkaitan dengan menyiapkan SDM unggul. Bagaimana mungkin SDM berkualitas terbentuk manakala semua komponen tidak berjalan maksimal.

 

Islam Menjamin Kesejahteraan Ibu

Dalam sistem kapitalisme ibu juga menjadi penggerak roda perekonomian. Sehingga energi mereka didorong untuk menciptakan keseimbangan ekonomi disisi lain justru pincang dalam peran utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi. Maka Islam memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga peran ibu.

Dimulai dari penafkahan adalah tanggung jawab laki-laki dalam hal ini suaminya. Jika suaminya tidak mampu secara fisik maka turut bertanggung jawab adalah ayahnya, saudara laki-laki ataupun pamannya. Dalam Islam telah jelas akan jalur penafkahan ini. Negara juga harus berperan dalam pemenuhan kesejahteraan individu dan keluarga.

Negara memanfaatkan seluruh sumber daya alam berupa tambang, minyak bumi, pertanian, dll untuk semata-mata demi kesejahteraan rakyatnya. Negara wajib memberikan santunan kepada rakyat yang terkategori miskin. Bahkan penguasa dalam Islam tidak sungkan untuk memberi makan langsung rakyatnya. Sebagaimana kisah Khalifah Umar bin Khathab yang memanggul sendiri karung gandumnya karena ada seorang rakyatnya yang kelaparan. Sosok Umar adalah sosok penguasa yang tegas dan sangat perhatian terhadap rakyatnya.

Wallahu ‘alam bishowab

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis