Pesta Demokrasi, Mengapa Gangguan Mental Hasilnya?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News—Beberapa pekan ini viral video joke untuk para “abdi negara” atau petugas KPPS agar membawa bekal makan dari rumah dan tidak mengandalkan ransum dari negara saat bertugas. Pengalaman mengerikan dari pemilu 2019, ternyata masih membekas, dimana sekitar 700 orang petugas KPPS meninggal misterius setelah makan makanan jatah negara. Jumlah itu bukan hanya pulau Jawa namun seIndonesia.
Alibinya karena kelelahan, namun siapapun yang hendak mencari bukti selalu dihadang dan kemudian kasus itu ditutup. Ternyata tugas bertambah lagi, yaitu mempersiapkan rumah sakit jiwa untuk menyambut caleg pemilu yang gagal. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, dua hal itu sangat diperlukan.
Aziz mengatakan hal ini belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. Secara khusus, Aziz juga mengingatkan kesiapan rumah sakit jiwa (RSJ) untuk menerima pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan (detik.com, 26/1/2024).
Apa Sebab Terjadinya Peningkatan Stres Pasca Pemilu?
Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami gangguan mental. Nova mengatakan, banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg kemudian terlilit hutang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya (antaranews.com, 11/12/2023).
Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materil, dan berujung kekalahan. Tidak hanya caleg yang berobat, namun keluarga hingga tim sukses mereka juga tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental akibat kekalahan tersebut. Dengan tujuan yang baik, atau benar-benar ingin berjuang untuk negeri, menurut Nova, akan memperkecil kemungkinan masalah mental yang dialami.
Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental ?
Fenomena gila atau setidaknya gangguan mental pasca gagal mencalonkan diri membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini sangatlah buruk. Ironi dengan sebutannya sebagai pesta demokrasi. Bukankah seharusnya pesta identik dengan kegembiraan dan bersuka ria?
Faktanya tidak, pemilu sejak pertama kali digelar tahun 1955 hingga hari ini sudah berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, hari ini jabatan menjadi impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri atau prestise, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasailitas lainnya.
Mau ditolak , nyatanya memang standar hidup atau makna kesuksesan yang ditawarkan sistem hari ini adalah materi. Siapapun yang memiliki kekuasaan, sama artinya telah memiliki dunia dan seisinya. Dan yang paling menjanjikan adalah menjadi ASN.
Kapitalisme kuat mengakar di negeri ini, bahkan mengatur kekuasaan dari dalam. Sistem demokrasi yang hanya melahirkan pemimpin boneka, melanjutkan kebijakan rezim sebelumnya menjadi madu pemikat para kapitalis (pemilik modal) untuk bermain di dalamnya. Terjadilah simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan, penguasa ada dana, pengusaha ada jaminan bisnis lancar.
Sementara kekuatan mental seseorang akan menentukan sikapnya terhadap hasil pemilihan. Dan tentu pendidikan hari ini sangat berpengaruh terhadap kekuatan mental seseorang. Dan benar-benar kualitas pendidikan hari ini sangat buruk, sebab telah terbukti gagal membentuk individu berkepribadian kuat, terbukti meningkatnya kasus gangguan mental di masyarakat. Tak hanya para caleg yang terpapar krisis mental ini, namun juga generasi muda yang bakal memilih mereka sebagai pemimpin.
Jiwa politik mereka lemah, apalagi wawasan politiknya. Mereka tahu apa saja persoalan yang menjerat mereka sehingga hidup terlihat sulit. Biaya hidup tinggi, sementara akses menuju pelayanan hak warga negara sangatlah sempit. Dan itu multi aspek, namun tetap percaya demokrasi masih bisa melahirkan pemimpin yang paham urusan mereka dan punya solusi jitu mewujudkan kesejahteraan. Ilusi!
Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan RasulNya.
Islam Solusi Sesuai Fitrah Manusia
Sistem pendidikan Islam menghantarkan individu menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Di antaranya selain bertakwa, cerdas, juga memahami kekuasaan adalah amanah. Bukan sekadar bualan kampanye , tapi akan dimintai pertanggungjawaban Allah swt. Pemimpin juga wajib beriman pada qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah. Kalah menang, disikapi secara sabar dan tawakal.
Allah swt. Berfirman, “Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil” (TQS an-Nisa’ 4: 58).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522). Wallahualam bissawab. [LM/ry].